Kain ini juga memancarkan keindahan budaya Minahasa melalui corak atau motif yang digambarkan.
Menurut Pimpinan Perajin Kain Pinawetengan, Iyarita Wiryawati Mawardi, kain Pinawetengan termasuk ke dalam bagian budaya Minahasa yang hampir punah.
Namun, karena kecintaannya pada budaya Minahasa dan kecantikan kain ini, ia pun memutuskan untuk kembali melestarikannya dengan memproduksi ulang kain Pinawetengan.
Sejak tahun 2007, Rita, begitu sapaan akrabnya, mulai melatih kurang lebih 200 perajin kain Pinawetengan hingga yang sampai saat ini yang bertahan hanya sekitar 13 orang.
Inspirasinya memunculkan kembali kain Pinawetengan
Meski bukan berasal dari etnis Minahasa, namun Rita terinspirasi untuk membangkitkan kembali kain Pinawetengan karena sejarah budaya yang menjadi inspirasinya.
"Awal mulanya saya diajak ke Manado dan diberitahu bahwa ada satu situs namanya Watu Pinawetengan di Desa Pinabetengan," tutur dia ketika ditemui dalam acara Kartini Fitri: Raya Wastra Nusantara di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini.
"Ini merupakan situs demokrasi yang menjadi tempat bagi orang-orang Minahasa pada zaman dahulu untuk berembug kalau ada pertikaian, pertentangan, atau ada yang tidak sepaham."
"Dan di situ pula cikal bakalnya Minahasa terbagi menjadi sembilan etnik, yang kemudian menjadi inspirasi saya untuk menenun kain ini," jelas dia.
Rita mengungkapkan, kain Pinawetengan tentu memiliki perbedaan tersendiri dengan wastra nusantara lainnya.
"Guratan-guratannya ini hanya ada di batu yang berasal dari Watu Pinawetengan," terangnya.
"Bahkan, kami juga pernah mendapatkan Guinness World Record dengan rekor 101 penenunan tanpa sambungan di tahun 2010," sambung dia.
Teknik pembuatan kain Pinawetengan
Ada pun teknik pembuatan dari kain ini masih dilakukan secara tradisional menggunakan tangan.
Selain itu, tingkat kesulitannya pun berbeda-beda tiap tekniknya.
"Untuk menjadi satu kain, ada beberapa teknik yang dilakukan, seperti ikat dan pencelupan dengan waktu yang dibutuhkan sekitar kurang lebih dua minggu," kata dia.
"Sementara untuk kain songket, kurang lebih penenunan dilakukan dalam waktu yang sama."
"Ya, kalau tidak berhenti dalam satu hari bisa jadi 1,5 meter," jelas dia.
Nah, mengingat banyaknya perajin yang akhirnya mulai termakan usia, Rita pun bekerja sama dengan beberapa sekolah seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk regenerasi perajin kain Pinawetengan.
"Memang regenerasi ini terbilang agak sulit karena adanya percampuran dengan budaya internasional yang masuk ke sini," terangnya.
"Makanya untuk memperkenalkan budaya ini, saya juga masuk ke sekolah-sekolah setempat untuk melatih pembuatan kain Pinawetengan dengan harapan ke depannya kain ini dapat terus dilestarikan," imbuh dia.
https://lifestyle.kompas.com/read/2023/04/17/060000320/melihat-keindahan-budaya-minahasa-lewat-kain-pinawetengan
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.