Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teler Bareng di Megaria

Kompas.com - 01/09/2008, 16:17 WIB

DULU tak ada yang menyangka gerobak rokok beserta bakso dan siomai yang biasa mangkal di Jalan Semarang-Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat, di kemudian hari akan berubah total menjadi rumah makan. Pedagangnya pun, tanpa sadar, menancapkan tonggak sebagai penemu jenis minuman yang hingga kini masih saja bikin warga Jakarta ketagihan. Minuman itu memang ngangeni (bikin kangen).
   
Di tahun 1967 (alm) Tukiman Darmowijono masih berdagang bakso dan siomai berkeliling di seputaran Manggarai hingga Menteng. Akhirnya ia mangkal di Menteng, berdagang makanan dan rokok di Jalan Semarang-Jalan Cilacap. Di awal tahun 1970, iseng-iseng Tukiman mulai meracik es buah, kemudian es campur. Pasalnya, banyak permintaan dari anak muda yang sering nongkrong di kawasan tersebut.
   
Dari berbagai usulan para pelanggan itulah kemudian lahir es campur yang bikin teler. Maksudnya, bikin ingin terus menyeruput. Dari situ pula muncul nama spesifik untuk es campur itu, yakni es teler. 

Es teler diracik sedemikian rupa oleh Tukiman hingga berakhir dengan rasa yang paling pas buat lidah kita. Minuman berupa campuran alpukat, kelapa muda, nangka disiram susu dan sirup, yang kemudian ditambahkan es batu ini hingga  sekarang tak lekang oleh waktu. ”Banyak yang ingin meniru, tapi kami punya resep rahasia yang tidak mungkin ditiru. Itu resep turunan dari Bapak,” ujar Suwanto, putra sulung Tukiman, yang kini mengelola warung es teler itu.
   
Lantas bagaimana kisahnya hingga es teler ini bisa berada di Kompleks Megaria dan menjadikan kawasan itu bercitra es teler? Jalan Pegangsaan tahun 1970-an jadi tempat berkumpulnya musisi seperti Keenan Nasution, almarhum Chrisye, Fariz RM, Ramli, dan Guruh Soekarnoputra. Selain, tentu saja, anak muda lain di masa itu. Maka dagangan Tukiman mulai mendapat tempat di hati warga Jakarta, tentu lewat promosi dari mulut ke mulut.
   
”Waktu itu Bapak pindah ke Jalan Pegangsaan (dari Jalan Semarang-Jalan Cilacap), sekarang jadi Apartemen Menteng Eksekutif. Di situ jualan esnya ditambah makanan lain seperti bakso dan siomai. Sampai sekitar tahun 1984. Terus pindah ke sini (Megaria). Lebih enak, karena bentuknya kan warung. Kalau dulu di Pegangsaan kan kita masih pakai tenda dan modelnya orang makan di mobil. Mobil jentrek-jentrek (berderet-deret — Red), orangnya makan di dalam mobil,” kisah Suwanto.
   
Di Pegangsaan pula ayam bakar mulai dijual, menemani es teler. Pindah ke Megaria, es teler dan ayam bakar sudah makin menyatu. Pelanggan datang ke tempat ini untuk ayam bakar dan es teler. ”Tapi sebenarnya, dulu Bapak saya mulainya kan jual siomai. Bahkan sebelum jual es teler. Jadi kalau orang zaman dulu, biasanya cari siomai juga,” ujar Suwanto.
   
Sekarang, yang makan di warung Sari Mulia Asli (nama warung ini kalah pamor dibandingkan Megaria, maka orang lebih sering menyebut es teler dan ayam bakar Megaria) ini sudah turun temurun, ”Dari bapak atau ibunya, ke anaknya-anaknya,” ujar Suwanto.

Sirup rahasia
   
Sejak pindah ke kompleks Megaria tahun 1984, es teler dan ayam bakar—khususnya es teler—menjadikan gedung bioskop rancangan Han Groenewegen tersebut punya nilai lebih. Setidaknya, ke Megaria tak berarti hanya menonton film di bioskop yang pernah sangat tenar di tahun 1950-an itu, tapi juga mencicipi kuliner yang memang hanya ada di kompleks bioskop itu.
   
Bicara soal es telernya, minuman itu memang tak bisa ditemui di tempat lain, kecuali tentu saja di cabang resminya yang hanya ada di Lippo Cikarang dan di Jalan Cendrawasih Raya, Slipi (dekat Gereja HKBP). Keduanya dikelola adik-adik Suwanto. Jika ada di antara pelanggan yang mengira es teler ini menggunakan santan, dengan cepat Suwanto menjawab, ”Kita enggak pakai santan. Hanya sirup dan susu. Sirupnya itu yang resepnya rahasia.”
   
Di Jakarta yang belakangan ini begitu panas, meneguk segelas es teler seharga Rp 7.000  bisa menjadi sebuah pelepasan singkat yang tiada tara. Bahkan dua gelas es teler tak terlalu berlebihan. Ditambah seporsi siomai atau seporsi ayam bakar plus nasi senilai Rp 11.000, makin komplet.
   
Sekadar mengingatkan, ayam bakar di sini menggunakan ayam ras pedaging. Tapi menurut Suwanto, ayam bakarnya diolah secara khas. ”Kita pakai ayam ras, bukan ayam kampung. Ayam kampung mahal. Yang penting kan mengolahnya, bagaimana ayam potong jadi tidak berlemak. Kemudian masaknya dengan bumbu rempah yang kita bikin sendiri, bukan bumbu instan,” jelasnya.
   
Warung ini buka setiap hari pukul 08.00-21.00. Khusus malam minggu buka hingga pukul 22.00. Tapi biasanya, pada awal Ramadan warung ini akan tutup selama tiga hari. Siap teler?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com