Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (198): Karachi

Kompas.com - 08/05/2009, 09:04 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar.

Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes.

Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah - sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan peninggalan kolonial bertebaran di segala penjuru?

Tetapi Karachi bukannya kota tanpa masalah. Saya tinggal di rumah seorang kawan, ekspat yang menetap di dekat Saddar Bazaar. Dari atap jendela kamarnya di lantai sebelas, saya bisa melihat kota Karachi tersebar semrawut sejauh mata memandang. Pemandangan yang gagah, namun menyedihkan.

           “Jangan kamu kira gedung tinggi di sini semuanya beres,” kata kawan saya itu, “Coba lihat rumah sakit bertingkat 12 itu,” ia menunjuk ke arah bangunan tinggi di seberang Jalan Jinnah.

Rumah sakit itu baru dibangun, tetapi hanya lantai 7 sampai 12 yang berfungsi. Sisanya tak bisa dipakai karena kesalahan teknis.

Di seberang jalan lainnya, kerangka bangunan tinggi berhenti di tengah-tengah. Pembangunan dibatalkan dan gedung separuh jadi itu ditinggal begitu saja. Ada lagi yang lebih parah, gedung tinggi dibangun sampai berapa lantai, ternyata miring. Terpaksa dirobohkan dan dibangun ulang.

          “Masih mending daripada yang di sebelah sini,” kata kawan saya, “mereka sudah membangun tinggi-tinggi, kemudian pembangunan putus tengah jalan. Bukannya langsung dihancurkan, malah batunya dipreteli satu per satu dan memakan waktu sampai berbulan-bulan sampai gedung itu habis.”

Apartemen di Karachi umumnya bernama eksklusif, sebut saja City View atau Glamour Residence. Tetapi jangan bayangkan ini apartmen mewah. Apartemen kawan saya ini tepat di seberang terminal. Asap hitam sudah mengendap di dinding apartemen. Air bocor terus menetes, menjadikan lantai apartemen jadi sangat kumuh. Tikus berlarian. Lift ada dua, yang satu selalu rusak, karena pihak manajemen akan menunggu dua-duanya rusak semua baru mau memperbaiki. Itu pun temboknya sudah mengelupas dan baunya pesing. Di lantai atas ada anak-anak pecandu narkoba yang sering fly di anak tangga dan merampok orang yang lewat.

Mati lampu sudah langganan. Untuk bayar rekening Internet yang selalu putus pun kawan saya harus berdebat tiga jam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com