Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (200): Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

Kompas.com - 12/05/2009, 08:01 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Di desa kecil Safed Sang, di pinggiran kota Peshawar, saya melewatkan malam dengan para pemuda Pathan.

Salah seorang pemuda itu bernama Ziarat Gul, artinya ‘bunga ziarah’. Umurnya baru 19 tahun. Wajahnya lebar. Bola matanya besar. Hidungnya mancung. Garis wajahnya kuat. Tubuhnya tinggi dan kekar. Kulitnya putih bersih, jauh lebih putih untuk ukuran orang Punjabi atau Sindhi. Ziarat adalah etnis Pashtun, atau dalam bahasa Urdu disebut Pathan. Orang Pashtun juga sering disebut Afghan, suku bangsa dari Afghanistan.

Perjumpaan saya dengan Ziarat sebenarnya tak disengaja. Dua bulan sebelumnya, saya sedang berkonsentrasi di depan komputer di sebuah warnet. Ziarat, yang duduk di sebelah saya, memandangi lekat-lekat. Terus-menerus mengajak bicara sampai saya tak bisa konsentrasi. Setengah jam berikutnya, datanglah Lam Li si petualang Malaysia. Mata Ziarat langsung beralih ke arah tubuh wanita itu. Di Pakistan, kaum pria bisa sampai melotot memandang tanpa lepas jika melihat kemolekan wanita, yang terbalut jubah dan jilbab sekali pun.

Betapa kecewanya Ziarat ketika tahu sekarang hanya tinggal saya yang ada di Pakistan. Lam Li sudah menyeberang ke Afghanistan, sehingga tak ada lagi kesempatan baginya berkenalan. Tetapi ia tetap membulatkan tekad untuk mengajak saya mengunjungi desanya yang bernama Safed Sang.

Peshawar, terletak di propinsi N.W.F.P (North Western Frontier Province), propinsi perbatasan peninggalan kolonial Inggris. Tempat ini dihuni oleh etnik Pashtun atau Pathan, yang tersohor akan kegagahan dan kekeraskepalaannya. Tak seperti British India yang takluk dalam kekuasaan Inggris, orang Pathan ini masih punya separuh kemerdekaan. Daerah mereka disebut tribal area di mana hukum kolonial tidak berlaku. Di tribal area orang Pathan masih memberlakukan hukum adat dan kesukuan mereka, yang didasarkan atas nilai-nilai Pashtunwali.

Sekarang, romantisme tribal area sama sekali bukan tentang romantisme suku-suku eksotis di tengah pedalaman gunung tersembunyi. Mendengar nama itu, yang terbayang adalah orang-orang bersurban mencangklong bedil atau pejuang Al-Qaeda yang bersembunyi di gua-gua. Hanya berapa kilometer saja dari Peshawar, kita sudah memasuki tribal area, yang karena alasan keamanan tertutup sama sekali bagi orang asing.

Safed Sang, kampungnya Ziarat Gul, memang bukan di dalam lingkar tribal area. Tetapi ada hembusan keganasan tribal yang saya rasakan, setidaknya dari omong-omongan si pemuda Ziarat.

          “Aku benci sekali orang Hazara,” katanya.
          Hazara, adalah etnis minoritas di Afghanistan, dengan raut wajah seperti orang Mongol dan menganut sekte Syiah.
           “Mereka membunuh banyak orang Pashtun. Mereka kafir!”

Konflik Hazara membunuh Pahstun dan Pashtun membunuh Hazara menjadi berita tanpa akhir di Afghanistan. Di negara tetangga itu, darah dibalas darah. Dendam kesukuan tak pernah selesai. Perang tak pernah berakhir di sana semenjak tiga puluh tahun lalu. Semangat kebencian suku-suku Afghan itu bahkan sampai di sini, di seberang perbatasan Garis Durand di sisi Pakistan. Kalau konflik Hazara dan Pashtun adalah masalah rumit primordialisme etnik yang bercampur dengan dendam, kebanggaan kesukuan, sentimen agama, kultur, fanatisme, pergesekan nilai, di mata Ziarat semuanya itu jadi sederhana, “Hazara membunuh orang Pashtun karena kami bicara bahasa yang berbeda!”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com