Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (203): Romantisme

Kompas.com - 15/05/2009, 22:06 WIB

Prince menjanjikan untuk mencarikan teman seperjalanan menuju ke perbatasan Torkham, sehingga saya bisa berbagi ongkos taksi.

          “Kemarin ada dua backpacker dari Inggris,” kata Prince meyakinkan, “nanti saya usahakan untuk menyelipkan kamu ke dalam kendaraan mereka. Turis-turis itu akan berkunjung sepanjang Khyber Pass. Jangan khawatir, saya akan bantu kamu, my friend.”

Sambil bicara jarinya mengelus-elus wajah saya. Saya tidak tahu apakah ini memang adat orang Pashtun. Saya pernah lihat di film, orang Afghanistan juga mengelus-elus jenggot lawan bicara. Saya diam saja, mendengarkannya berceloteh tentang segala kebanggaan dirinya. Lagi-lagi hal yang sama – ratusan anak asuh, ribuan turis yang terpuaskan, sekolah yang dibangun, pengalaman Khyber Pass yang tiada duanya, dan seterusnya. Benar-benar pangeran nyasar.

Jam 10 malam. Kantor itu gelap dan tidak ada siapa-siapa lagi. Sambil bicara, jari-jarinya terus bergerak liar di wajah saya. Sekarang mulai menggelitik daun telinga saya. Saya sudah merasa mual. Saya menghindar. Setelah menenggak habis botol Coca Cola yang dihidangkannya, saya langsung permisi pergi.

Sebagai tanda perpisahan, Prince memberi kenang-kenangan. Seuntai kembang.

Tak lebih dari tiga menit saya lepas dari si pangeran tua ini, saya sudah dihadang dua manusia dari jenis yang sama, ketika menaiki tangga-tangga gelap di losmen murah tempat saya menginap.

Yang satu kurus, satu gemuk. Dua-duanya pakai shalwar kamiz. Dua-duanya berkumis, tak berjenggot. Yang gendut berumur empat puluhan, yang kurus jauh lebih muda. Mereka bicara bahasa yang tidak saya mengerti. Bahasa Pashto. Saya ajak berbicara bahasa Urdu, mereka juga tak bisa. Mungkin memang orang Afghan.

Mereka terus bicara. Tapi saya tak paham sama sekali. Si gemuk menunjukkan dompetnya, sambil mengeluarkan lima atau enam lembar uang seratusan Rupee. Entah apa maksudnya.

Si gemuk kemudian mengepalkan tangan kanannya, dan menepuk-nepuk genggaman itu dengan tangan kirinya. Si kurus membuat lingkaran dengan dengan telunjuk dan ibu jari tangan kirinya, kemudian menggesek-gesekkan telunjuk kanannya, keluar masuk. Ini gestur yang buruk sekali. Mereka ingin menggagahi saya.

           "Na. Tidak. Dard hoga. Nanti sakit," saya masih bersopan-sopan menghindar.
           Bukannya membiarkan saya pergi, si gendut mulai 'merayu' saya.
           "Hanya satu menit. Tidak sakit. Semua uang ini akan jadi milik kamu” dan sebagainya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com