Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilih Dokter Kandungan Pria atau Wanita?

Kompas.com - 02/12/2009, 18:24 WIB

KOMPAS.com - Berkonsultasi dengan ahli obstetri dan ginekologi memang suatu pengalaman yang sangat personal dan bisa menimbulkan rasa risih. Bayangkan bila Anda harus mengangkat kedua kaki di pijakan kaki di kursi pemeriksaan, membiarkan dokter memasukkan spekulum ke dalam vagina untuk melihat rahim Anda, mengusap lendir dengan spatula, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya pribadi, seperti kapan terakhir berhubungan intim dengan suami, atau bagaimana siklus menstruasi Anda. Apalagi, dokter obgyn bukan cuma monopoli ibu-ibu hamil. Perempuan lajang yang mengalami masalah keputihan, misalnya, tentu harus menemui dokter kandungan.

"Awalnya saya juga malu banget waktu pertama kali diperiksa, tapi dokter saya bilang, 'Mbak, saya sudah melihat ribuan vagina, dari yang bentuknya bagus sampai yang tidak bagus'. Akhirnya saya tidak ragu-ragu lagi," ujar Andien (29, bukan nama sebenarnya), yang bersyukur karena dokter senior yang dipilihnya berhasil menyelamatkan janinnya.

Retha (32, juga bukan nama sebenarnya) mengaku merasa lebih nyaman saat mengungkapkan masalah kesehatan kandungannya dengan dokter wanita, dan karenanya ia juga tidak begitu merasa malu saat pemeriksaan fisik. Ia merasa sangat diekspos secara fisik, sudah begitu di bawah tubuh pasien biasanya ada handuk kertas untuk mencegah apa pun mengotori tempat periksa. "Kalau dokter wanita punya cara tertentu untuk memahami apa yang kita alami setiap bulan, atau ketika ada sesuatu yang enggak beres," ujarnya. 

Tak hanya pasien yang merasakan ketidaknyamanan menghadapi dokter pria. Banyak pula pihak suami yang tidak rela jika istrinya harus membuka pakaian di hadapan dokter pria. "Seilmiah-ilmiahnya seorang dokter, dia tetaplah seorang pria," begitu alasan salah satu pria.

Bukan masalah pria atau wanita
Keengganan untuk berkonsultasi dengan dokter pria juga dialami wanita di belahan dunia lain. Menurut sebuah survei yang diadakan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), sebanyak 47 persen wanita lebih memilih dokter wanita, 37 persen tidak memiliki pilihan tertentu (artinya, pria atau wanita sama saja), dan hanya 15 persen yang akan memilih dokter pria.

Dari sebagian kecil yang memilih dokter pria tersebut, adalah Narulita, yang sedang menantikan kehadiran bayi pertamanya. Staf bagian promosi di sebuah media ini mengaku sudah tiga kali berganti dokter. Salah satunya, dokter wanita. Itha, begitu ia biasa disapa, mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan dari dokter wanita ini. "Kalau memeriksa buru-buru. Saya seperti dikejar-kejar. Kalau saya menanyakan sesuatu, jawabannya cuma, 'Tenang, tenang....' Saya kan butuh penjelasan," ujar Itha, yang kini usia kehamilannya 34 minggu.

Ia kemudian mendapat rekomendasi dari teman-temannya untuk berkonsultasi dengan seorang dokter pria. Setelah berkonsultasi dengan dokter pria ini, Itha merasa puas. "Orangnya sabar, nggak buru-buru, tenang gitu lah. Soalnya saya kan cerewet, mau tahu banyak," katanya. "Hamil itu kan menyangkut nyawa dua orang. Harusnya dokternya sabar, dan mau menjelaskan. Terus kitanya juga harus aktif mencari informasi."

Dari penuturan Itha, terungkap bahwa yang diperlukan sebenarnya adalah kenyamanan, dan peluang untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dari sang dokter. Hal ini diakui oleh Rose Eskin, MD, seorang dokter kandungan dan kebidanan. "Sebenarnya ini bukan masalah pria atau wanita, tetapi dengan siapa Anda merasa nyaman," katanya, sambil mengungkapkan bahwa dokter-dokter pria partner-nya secara teknis memiliki kompetensi yang sama dengan dokter wanita.

Partner Eskin, Robert delRosario, MD, sepakat bahwa tidak ada perbedaan dalam urusan kualitas yang ditawarkan dokter pria atau wanita. Menurutnya, pria pun memiliki sensitivitas yang tinggi tentang ketakutan yang dialami wanita saat pemeriksaan ginekologis. "Sesuatu yang rutin dilakukan seperti Pap's smear pasti merupakan pengalaman heboh buat wanita, dan kami para pria ini pasti berusaha lebih lembut, dan menjelaskan apa perbedaan kami dengan ginekolog wanita yang mungkin berpikir, 'Ah, saya juga pernah mengalami hal ini'," paparnya.

Wanita, menurut dokter berusia 39 tahun ini, tak perlu malu dengan dokter kandungan pria. Dalam memberikan perawatan medis, tak ada komponen seksual yang dilibatkan. Para pasiennya bahkan meminta maaf karena tidak mencukur bulu kakinya, atau tidak menjaga kebersihan kakinya, namun bagi delRosario, "Faktor-faktor itu bukanlah hal-hal yang kami perhatikan, karena bukan yang dapat memperbaiki kesehatan pasien. Pengobatan adalah orientasi masalah ini."

Hendra (32) sepakat dengan pandangan ini. "Saya sih tergantung istri saya, dia lebih nyaman dengan dokter pria atau wanita. Tapi menurut saya, selama itu untuk kebutuhan kesehatan dan ditangani oleh tenaga ahlinya, rasanya (memilih dokter pria) bukan perkara yang harus dikhawatirkan," kata bapak dua anak ini. Lagipula, katanya, dokter kan selalu didampingi susternya, dan suami pun ikut masuk ke ruang periksa. Jadi, apa yang harus ditakutkan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com