Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Robohnya Pendidikan Humanis

Kompas.com - 23/01/2010, 10:51 WIB

Oleh FX Aris Wahyu Prasetyo

Banyak anak frustrasi dengan angka-angka ketika harus belajar dalam dunia yang disebut sekolah. Begitu menakutkannya angka-angka yang menunjukkan batas kelulusan bagi anak-anak dalam ujian nasional. Jauh hari sebelum ujian berlangsung, banyak kalangan dibuat repot dan harus memutar otak untuk mencapai angka-angka itu.

Anak-anak harus dirampas jam belajar di sekolah dengan drill soal-soal jauh hari sebelum ujian. Bahkan, frustrasi dan ketakutan sudah mereka rasakan jauh hari. Sepulang sekolah, waktu bermain mereka harus dirampas untuk mengikuti berbagai les atau uji coba yang dilakukan lembaga informal yang begitu menjamur di luar pagar sekolah.

Jangan bicara masalah nilai-nilai kehidupan! Memang hal ini bisa dihubungkan dengan perjuangan mencapai cita-cita, namun bukan lagi tentang pembelajaran nilai-nilai hidup ketika anak tidak mempunyai pilihan. Mereka melakukan dalam sebuah intimidasi masa depan dalam sebuah keterpaksaan. Pastilah hal ini bukan esensi dari sebuah pendidikan yang baik dan benar.

Sekolah pun harus dibuat pusing seribu keliling. Kepala sekolah dan juga para guru sama sekali tidak punya pilihan. Sama halnya dengan anak-anak, mereka harus melakukan semua itu dalam sebuah "todongan pistol" kebijakan. Celakanya lagi, kegagalan mencapai kelulusan 100 persen menjadi pertaruhan eksistensi sekolah.

Orangtua tidak kalah frustrasi memikirkan nasib anaknya. Sejumlah uang direlakan raib untuk membayar berbagai les atau privat demi tercapainya angka-angka itu. Sangat ironis karena anak-anak harus menjalani kerasnya "penjejalan materi" di lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah. Celakanya, anak-anak dari keluarga tak mampu hanya bisa bermimpi saja dan meletakkan nasibnya di atas awan yang tinggi sekali itu. Pendidikan dengan target angka-angka itu telah didesain untuk anak-anak keluarga berduit yang bisa memfasilitasi pendidikan luar sekolah yang sangat mahal itu.

Pada akhirnya, pendidikan dengan orientasi angka-angka itu jatuh pada kebobrokan moral para siswa, sekolah, dan orangtua. Kasus mencontek, bocoran jawaban, rekayasa, dan berbagai kecurangan dalam ujian nasional menjadi fakta kebobrokan pendidikan berorientasi angka itu. Pusat hanya menginginkan hasilnya dan sekolah harus mencapai hasil itu dengan sukses dengan berbagai cara, termasuk cara kotor. Ketika pendidikan jatuh pada kebobrokan dan "skandal" seperti itu, kembali sekolah dijadikan kambing hitam.

Meretas pendidikan humanis

Sesungguhnya potret buruk pendidikan tidak hanya tergambar dari atmosfer ujian nasional saja. Yang tampak dari kebobrokan ujian nasional merupakan puncak dari amburadulnya pendidikan nasional kita. Dalam sebuah proses pendidikan keseharian pun, pembelajaran berorientasi angka sangat dominan. Berbagai model pembelajaran banyak berakhir dengan sebuah tes. Bahkan, banyak guru dengan perkasanya membuat soal tersulit yang pernah ada sehingga nantinya dengan gagah juga menuliskan angka-angka itu di lembar jawaban siswa tanpa meninggalkan kata-kata apa pun sebagai feedback atas jawaban siswa.

Pembelajaran tanpa adanya feedback tertulis dan cukup menuliskan angka atau skor akhir siswa adalah sebuah kekerasan intelektual. Anak-anak hanya boleh tahu hasilnya saja, sedangkan alasan di balik benar atau salahnya jawaban tidak penting. Yang terjadi, anak-anak akan membawa pulang angka itu dan ditunjukkan pada orangtuanya tanpa bisa menjelaskan mengapa mendapat hasil seperti itu. Sebagai efeknya, ada dua kemungkinan respons orangtua, yakni "anak yang baik" karena mendapat nilai bagus atau "anak bodoh" karena mendapat nilai jelek. Celakanya, ada orangtua yang tidak peduli dengan perkembangan anaknya. Habis sudah spirit pendidikan yang merupakan sinergi sekolah dan keluarga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com