Palu, Kompas
Hal itu dikemukakan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng Wilianita Selviana, Rabu (28/4). Selama ini, limbah pengolahan emas dibuang di lembah terbuka yang dipenuhi tanaman kaktus.
Data Pemerintah Kota Palu dan Kepolisian Daerah Sulteng menunjukkan, saat ini terdapat lebih dari 11.000 tromol dan sekitar 400 tong di Poboya dan sekitarnya.
Tromol dan tong adalah peralatan untuk memisahkan butiran emas dari pasir, tanah, dan bebatuan. Dalam operasionalnya, tromol menggunakan merkuri. Adapun tong menggunakan sianida.
Jumlah penambang, baik warga lokal maupun pendatang, mencapai 10.000 orang. Umumnya pendatang berasal dari
Anggota DPRD Kota Palu, Danawira Asri, mengatakan, pemerintah harus tegas karena situasi itu mengancam kehidupan warga Kota Palu. ”Sejak dikeluarkan Peraturan Wali Kota Nomor 6 Tahun 2010 tentang pertambangan, Februari lalu, penggunaan sianida makin marak. Peraturan tentang tidak dibolehkannya aktivitas di sekitar permukiman dan bantaran sungai, termasuk penggunaan sianida, tidak diindahkan,” katanya.
Wakil Wali Kota Palu Mulhanan Tombolotutu mengakui, air di sekitar Poboya kemungkinan besar sudah tercemar sianida. Namun, tidak mudah untuk menghentikan aktivitas penambangan karena bisa menimbulkan reaksi tidak diinginkan. ”Yang akan kami tempuh adalah merelokasi pengolahan emas dan memusatkan di Palu Timur,” kata Mulhanan.