Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bank Sperma di Indonesia, Mungkinkah?

Kompas.com - 30/07/2010, 09:39 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Teknologi kedokteran yang berkembang pesat khususnya di bidang kebidanan dan kandungan telah membawa implikasi yang sangat besar bagi dunia. Ditemukannya teknik inseminasi buatan atau bayi tabung (in vitro fertilization/IVF) adalah salah satunya. 

Permintaan bayi tabung yang terus meningkat setiap tahunnya di dunia termasuk di Indonesia menjadi fenomena tersendiri. Melalui teknik inseminasi, seorang wanita dimungkinkan untuk mendapatkan kehamilan dengan sumbangan sperma, baik dari suaminya sendiri atau seorang pria donor, yang disimpan di bank sperma.

Di luar negeri, praktik donor dan bank sperma bukanlah hal yang baru. Tetapi di Indonesia, wacana donor dan bank sperma menjadi sebuah kontroversi karena dinilai bertolakbelakang dengan norma, budaya dan agama yang berlaku di masyarakat.

Belum lama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke VIII di Jakarta bahkan telah mengeluarkan suatu fatwa yang mengharamkan donor atau praktik jual-beli sperma.

Di mata pengamat masalah kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Prof. Does Sampoerno dr MPH, praktik donor sperma di Tanah Air dinilai tidak memungkinkan. Kehadiran bank sperma juga belum tepat karena Indonesia memiliki kultur yang berbeda-beda.

"Bank sperma dengan tujuan komersial belum tepat dilakukan di Indonesia. Dalam kultur di indonesia terutama yang terkait masalah agama. Tujuan dari bank sperma kan akan menghasilkan keturunan, tapi di Indonesia hanya sah kalau sperma suami untuk inseminasi terhadap istrinya sendiri," kata Does Sampoerno kepada Kompas.com, Kamis (29/07/10) di Jakarta.

Meskipun dipandang dari sisi kesehatan akan membantu sebagian orang, namun menurut Ketua Kolegium Keilmuan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) itu,  implementasi tindakan ilmu kesehatan harus dikaitkan dengan norma, nilai agama, budaya di negeri itu.  "Ini karena mempertimbangkan masalah agama, budaya, norma, hak asasi, apalagi untuk negara-negara multikultural," kata Prof Does.

Dalam etika kesehatan, lanjut Does, ada empat prinsip pokok yang harus dipatuhi sebelum melakukan tindakan. Keempat etika pokok tersebut adalah menghargai harkat martabat atau hak asasi orang lain, perbuatan baik, tidak merugikan serta keadilan.

Dalam prinsip berbuat baik mislanya, kata Does, harus dilihat apakah kepentingan individu itu akan merugikan orang lain atau tidak. Karena dalam etika berbuat baik yang harus dimaksimalkan adalah keuntungan individu dan masyarakat, sedangkan yang merugikan harus diminimalkan.

"Kalau bank sperma memberi sperma kepada orang lain, dan diketahui orang lain akan menyebabkan kegegeran karena melanggar norma dan agama. Oleh sebab itu, yang diperbolehkan adalah melakukan inseminasi buatan antara suami dengan istrinya sendiri. Itulah sebabnya, di sini bank sperma tidak bisa dipakai," kata Prof Does.

Berkaitan dengan praktik bayi tabung, pemerintah sebenarnya telah membuat ketetapan dalam pasal 16 UU Kesehatan No.23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.73 tahun 1992 yang isinya menetapkan inseminasi buatan hanya diperbolehkan pada suami istri yang sah, lalu menggunakkan sperma dan sel telur pasangan tersebut yang kemudian ditanam dalam rahim istri. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com