Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dokter Indonesia: Kualitas dan Kuantitas

Kompas.com - 16/09/2010, 03:56 WIB

Saat melantik 17 anggota Konsil Kedokteran Indonesia masa bakti 2009-2014, 2 September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpesan agar komunitas kedokteran Indonesia memerhatikan dua aspek, yaitu etika dan kompetensi. Perhatian Presiden terhadap kedua aspek itu tentu bukan tidak beralasan dan menjadi penting diperhatikan karena komunitas kedokteran justru diperhatikan di dua dari beberapa hal yang selalu mereka junjung tinggi sendiri.

Pendidikan kedokteran di Indonesia adalah cikal bakal pendidikan, yang merupakan pendidikan tinggi tertua, paling banyak menjalani pengalaman dan tetap akan menjadi pendidikan tinggi yang sangat menantang karena harus terus berkompetisi terhadap kecepatan perkembangan global, baik ilmu pengetahuan kedokteran maupun permasalahan kesehatan, dengan varian-varian baru.

Pendidikan Dokter Jawa pada tahun 1849 merupakan awal pendidikan kedokteran itu. Meski istilah dokter di situ tidak tepat, semangat yang dibangun itulah yang terus mendorong perkembangan pendidikan kedokteran di Indonesia. Dokter Jawa dicetak dalam masa pendidikan dua tahun dengan tugas utama sebagai ujung tombak menghadapi berbagai kasus penyakit dan wabah yang ditakuti pemerintah penjajahan Belanda. Tentu makin disadari pentingnya keberadaan dokter di tengah masyarakat sehingga secara bertahap pendidikan dibuat semakin terstruktur dan semakin mendekati bentuk struktur pendidikan yang dianut negara Belanda. Lama pendidikan pun terus mengalami penyesuaian.

School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang kemudian berkembang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nederlands Indische Artsen School (NIAS) menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, serta Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, merupakan tiga fakultas kedokteran yang menjadi contoh pengembangan fakultas kedokteran lain sehingga saat ini ada 70 program studi/fakultas kedokteran di seluruh Indonesia.

Pertambahan ini tentu baik untuk meningkatkan daya saing juga guna memenuhi jumlah dokter yang dibutuhkan masyarakat. Dengan rasio umum pada setiap 4 juta penduduk dibangun sebuah fakultas kedokteran, jumlah fakultas kedokteran yang ada sekarang sudah cukup. Laju produksi keseluruhan adalah sekitar 5.000 dokter per tahun sehingga jumlah (kuantitas) yang dibutuhkan sesuai rasio akan tercapai pada 2014.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diikuti program Departemen Pendidikan Nasional tentang Paradigma Baru Pendidikan Kedokteran di Indonesia, maka Indonesia kembali mengalami pengembangan, antara lain, dengan dibentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai badan regulator serta pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), juga Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), surat tanda registrasi (STR), dan program pemandirian (internship).

Sebenarnya semua itu merupakan proses penjaminan mutu (quality assurance) serta kendali mutu (quality control) profesi kedokteran. Ini bukan masalah baru, tetapi justru yang amat melekat pada profesi kedokteran. Profesi kedokteran sangat sadar bahwa dokter yang baik tidak cukup dari aspek akademik saja, tetapi juga harus mencakup aspek emosional dan spiritual. Pembinaan itu harus terus-menerus dilakukan selama pendidikan, bahkan sepanjang hayat setelah menjadi dokter. Kita umumnya tahu betapa ketat seleksi masuk mahasiswa kedokteran. Demikian ketatnya profesi ini sehingga di Jepang hanya dua profesi yang dipanggil dengan sebutan sensei, yaitu guru dan dokter.

Kini kembali disadari bahwa jati diri seorang dokter secara naluriah harus sudah terbentuk, bahkan sejak sebelum seseorang masuk ke fakultas kedokteran. Hal ini dapat saja memicu pertanyaan, seolah ada sebuah keistimewaan. Hal yang berbeda jika dilihat dari aspek sebaliknya, yaitu tanggung jawab.

Perjalanan panjang pendidikan kedokteran di Indonesia ini telah membuktikan bahwa dari segi ilmu pengetahuan serta keterampilan, dokter Indonesia tidak perlu diragukan. Dokter lulusan Indonesia cukup banyak yang diterima melanjutkan pendidikan di negara maju, bahkan bekerja di sana. Cukup banyak pula dokter Indonesia diminta mengajar dan melakukan tindakan konsultatif di negara lain, termasuk negara dengan sistem kedokteran yang amat maju.

Sejak 2007 sampai dengan Juli 2010, tercatat 108 dokter Indonesia dibekali letter of good standing dari KKI untuk memenuhi undangan melakukan tindakan kedokteran konsultatif di mancanegara. Pendidikan saat ini yang berbasis kompetensi seyogianya semakin memperkuat citra itu karena pendidikan saat ini amat memerhatikan rasio dosen terhadap mahasiswa, kompetensi harus dicapai secara utuh sebelum naik mencapai kompetensi berikutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com