Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Kisahku Melawan Jeratan Kanker Payudara, Bagian 2

Kompas.com - 27/10/2010, 17:10 WIB

KOMPAS.com - Kanker payudara (KP) merupakan salah satu pembunuh perempuan terkejam. Ia datang diam-diam, menggerogoti tubuh, menyakiti, kemudian membunuh. Bukan hal yang mudah untuk menghadapi kanker. Inilah cerita Enny Hardjanto, seorang pengusaha, dosen, dan survivor KP yang sempat divonis berada di stadium 4.

...sambungan

Dokter Berani Operasi

Begitu menjelang kemoterapi keempat, dokternya baru mau mulai berani beroperasi. Biasanya, kalau operasi seperti ini cuma berlangsung 1,5 jam. Tetapi operasi saya ini berjalan sampai 4,5 jam. Ternyata menurut dokternya, kanker itu sudah ada yang mulai menggerogoti tulang, jadi harus dikerik. Karena itu pun, sakitnya luar biasa, jangan ditanya, bahkan akhirnya saya diberi morfin selama seminggu. Tetapi dokter di sana itu, empati sama orang, tetapi tidak boleh manja. Jadi, besoknya setelah operasi, saya harus memaksa diri untuk mengangkat tangan saya. Padahal, kelenjar getah bening di bagian atas lengan kiri saya baru saja diangkat. Itu semua diambil, dan saya dipaksa mengangkat tangan saya, paksa terus, paksa lagi. Tetap dengan suntikan morfin selama seminggu, lalu seminggu kemudian saya tetap disuntik morfin untuk mengurangi morfin yang pertama. Dua minggu saya di sana, saya mulai tidak betah di rumah sakit, saya minta pulang. Dokter pun mengizinkan saya pulang.

Hampir Menyerah

Baru seminggu saya di rumah, dia telepon lagi, dia minta saya kembali. Saya diminta untuk kemoterapi lagi. Padahal saya masih lemas, saya belum pulih. Dia paksa saya untuk kembali kemoterapi, karena kalau berhenti sebentar, akan tumbuh lagi. Ya, sudah, saya kembali. Kondisi saya sangat parah. Saya sudah tidak bisa bangun, kan baru operasi, lalu kemoterapi lagi. Saya sempat bilang sama Tuhan untuk mengambil saja nyawa saya. Saya merasa tidak berguna. Tetapi hal itu tidak lama. Saya tersadar, saya minta maaf, karena saya ingat, saya sudah dipandu, sudah dibantu, dioperasi berhasil, dikemoterapi berhasil. Lalu apa hak saya meminta ia mengambil nyawa saya? Di sana saya merasa ditemani, merasa dipeluk, lalu saya kembali semangat. Saya jalani saja lagi, meski berat.

Kemoterapi kelima, pun lewat. Saya pun merasa lebih bersemangat. Saya tanya sama teman-teman saya, apa masih mungkin saya mengajar lagi, sejam saja. Saya ingin tahu, apakah saya masih berguna atau tidak. Mereka mengizinkan. Saya mengajar dalam keadaan kepala gundul. Saya percaya diri saja. Saya tidak mungkin pakai wig, kan? Kadang pakai topi olahraga, kadang saya buka. Tentu mereka bertanya-tanya, mengapa begini, lalu saya kasih tahu bahwa ini hasil pekerjaan KP. Tetapi di sana, mereka pun memberikan semangat. Sejam, saya tahan. Setelah itu, keluar keringat dingin, basah kuyup. Tetapi teman-teman memberi semangat.

Setelah kemoterapi ke-6, semua berjalan lebih lancar. Dalam perjalanan pulang usai kemoterapi ke-6, saat saya sedang duduk-duduk di bandara, saya didekati seseorang. Dia bertanya, "Kamu sakit ya?" Saya jawab, "Ya, saya terkena KP, saya habis radiasi, dan saya dalam perjalanan kembali ke Jakarta." Ternyata dia adalah seorang dokter gizi. Dia bilang, "Saya tidak bisa temani kamu, tetapi saya melihat kamu seperti sedang sakit. Tolong, ya, begitu kamu sampai ke Jakarta, kamu makan suplemen. Kamu terlihat kekurangan asupan. Kamu perlu makan suplemen. Kulit kamu terlihat abu-abu dan kuku hitam. Kamu coba, ya." Sesampai di Jakarta, saya coba cari suplemen yang ia sarankan.

Tiga minggu kemudian, saya menjalani proses radioterapi setiap hari, proses ini berjalan sebanyak 25 kali, sehari sekali. Tak lama, sih, hanya 10 menit. Tetapi prosesnya itu sangat tidak nyaman. Banyak sekali aturannya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Benar-benar tidak boleh ngapa-ngapain saat radioterapi. Mungkin, karena kekuatan saya pribadi, suplemen, dan nasihat untuk terus minum air kelapa, akhirnya saya kuat untuk radioterapi. Padahal, teman-teman lain yang juga diradioterapi merasa mual-mual dan muntah.

Baru Perjalanan Pertama

Kemudian, dokter bertemu saya lagi, lalu dia bilang, "Itu baru perjalanan pertama. Perjalanannya, lima tahun ke depan, kamu harus lihat lagi. Ingat, obat ini ada dampak ke tulang, ia bisa mengeroposkan tulang. Kamu harus hati-hati. Minum susu, makan keju, apa saja untuk memperkuat tulang kamu. Makanlah apa saja, asal jangan terlalu banyak satu sisi, yang penting seimbang. Karena kalau kamu bingung dengan makanan dan banyak pantangan, maka kamu akan stres. Stres pun akan bikin kankernya kembali lagi." Lalu saya tanya, "Jadi, ini kankernya enggak akan hilang, Dok?" Dia jawab, "Kanker tidak akan pernah hilang. Dia akan selalu ada di tubuhmu. Kalau tidak hati-hati, dia akan tumbuh lagi. Jadi, jaga terus."

Mulai dari situ, saya lalu berusaha untuk tetap seimbang. Makanan, asupan buah-buahan dan sayur-sayuran saya usahakan untuk mencukupi. Tetapi saya juga suka steak. Kan, kata dokter saya tidak boleh stres. Ya, saya coba imbangi. Alhamdulilah, sekarang sudah 4 tahun, dan saya masih bisa berbagi cerita saya. Saat ini saya bergabung dengan Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta. Kami punya misi, tahun 2020 nanti, di Jakarta tidak ada lagi penderita kanker payudara stadium lanjut. Lebih baik mengetahui sejak dini untuk diatasi secara medis agar tuntas dan tidak menunda-nunda atau coba alternatif ke sana-ke mari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com