Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiswanti: Berbekal Sabar dan Pintar, Bagian I

Kompas.com - 08/11/2010, 17:57 WIB

"Sangat sulit bagi kami untuk bersekolah, apalagi membayar iuran perpustakaan kala itu," kata Kiswanti yang lulus SD pada tahun 1980.

Mengakali kemiskinan, Trisno meminta Kiswanti tak melanjutkan sekolah. Kemudian, Trisno mengajak Kiswanti yang lulus dengan nilai sempurna, untuk belajar di rumah dengan buku.

"Bapak minta maaf tidak bisa menyekolahkan saya. Bapak juga bilang, kalau mau pinter banyak baca buku," kisahnya menjelaskan bagaimana orangtuanya tak menyanggupi biaya sekolah lanjutan.

Beruntung, Trisno adalah tamatan sekolah rakyat yang bisa baca tulis. Trisno mengambil alih peran sekolah dengan mengajarkan Kiswanti dengan caranya yang unik.

Buku pelajaran SMP, SMA, majalah, dan surat kabar adalah pemberian rutin dari Trisno kepada Kiswanti. Meski tak sekolah, Kiswanti rajin membaca pelajaran setingkat SMP-SMA. Jika tak mengerti, ia bertanya kepada tetangganya yang berprofesi sebagai guru. Karena kecerdasan otaknya menangkap ilmu, Kiswanti seringkali menjadi tempat bertanya teman seusianya yang melanjutkan sekolah.

"Bapak yang mencontohkan kebiasaan membaca. Pernah bapak bilang, tak perlu ke keraton Solo untuk tahu seperti apa sejarahnya. Bapak bercerita tentang keraton Solo dari buku. Suatu saat, bapak mengajak saya ke keraton Solo. Apa yang diceritakan bapak saya lihat semuanya. Saya banyak tahu tentang banyak hal dari buku," tuturnya.

Pahlawan Pustaka, sebuah gelar yang dinobatkan kepadanya setelah dewasa, adalah buah manis dari pendidikan rumahan Trisno, ayahnya. Kegemaran Trisno bercerita tokoh dan kisah perwayangan, membekas di benak Kiswanti hingga kini. Cara Trisno mengajak Kiswanti tetap menjaga semangat belajar juga masih terekam jelas.

"Yang menjengkelkan saat kecil, saat teman saya bersekolah, bapak menghibur saya dengan puzzle. Bapak menggunting gambar atau huruf dari koran, majalah, lalu dimintanya saya menyusun gambar tersebut. Nakalnya bapak, sebagian gambar disembunyikan di pecinya. Inilah yang juga dilakukan bapak jika saya mengganggu ibu yang sedang menumbuk jamu. Meski kesal karena gambar seringkali disembunyikan, dengan cara inilah, bapak mengajarkan saya baca tulis," kisahnya.

Kecintaan Kiswanti terhadap buku semakin menjadi selepas dari SD. Ia kerapkali membeli buku di bazar yang digelar sepanjang hari selama sebulan pada peringatan Sekaten atau Maulid Nabi. Buku bukan satu-satunya yang menarik perhatian Kiswanti. Melihat, banyak warga di kampungnya "sukses" pulang kampung dengan penampilan perlente. Ia pun hijrah ke Jakarta untuk menjadi pekerja rumah tangga pada 1987.

Naik jabatan karena buku
Menjadi rewang (PRT) adalah tugas yang disanggupi Kiswanti. Ia tahu caranya menyapu, meski belum mahir mengepel, karena rumahnya di Bantul hanya beralaskan tanah. Melihat begitu banyak buku di rumah majikan, yang adalah warna negara Filipina, Kiswanti semakin betah. Ia bahkan hanya minta digaji dengan buku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com