Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Pria Membeli Layanan Seks?

Kompas.com - 03/12/2010, 19:46 WIB

KOMPAS.com - Sudahkah Anda membaca buku Jakarta Undercover (2002, 2003, 2007) karya Moamar Emka? Apa yang Anda rasakan saat orang lain mengetahui bahwa Anda membaca buku itu? Apakah Anda merasa jadi orang yang "gaul", karena mengetahui realita kehidupan malam berikut bisnis seksnya yang jauh di luar bayangan Anda?

Terlepas dari fakta bahwa buku tersebut ditulis berdasarkan investigasi mendalam dari penulisnya, tidakkah ada sesuatu yang mengusik pikiran Anda, bahwa perempuan hanya diposisikan sebagai obyek di buku itu?

Jakarta Undercover, begitu juga buku-buku lain yang ditulis oleh para lelaki untuk mengangkat bisnis layanan seks perempuan, jelas sangat tidak berpihak kepada perempuan, demikian tegas Nori Andriyani, penulis buku Jakarta Uncovered: Membongkar Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru. "... Saya tidak menangkap adanya pemikiran bahwa fenomena yang mereka bahas adalah sebuah masalah yang mendesak. Juga tidak ada pemikiran bahwa yang menjadi penyebab masalah adalah kaum lelaki, dan kaum perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bahkan sebaliknya lebih ada kesan bahwa fenomena itu sesuatu yang fun," demikian tulis Nori di halaman 62 bukunya.

Sambutan hangat terhadap buku-buku yang membahas bisnis seks menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah semakin pasif menghadapi masalah tingkah laku lelaki yang memiliki kebiasaan membeli layanan seks perempuan. Buku Emka bukannya dikritisi, malah semakin dicari hingga terbit tiga seri, dan dibuatkan filmnya.

Kepasifan masyarakat kenyataan maraknya bisnis layanan seks ini disebabkan budaya patriarki yang telah membuat masyarakat menganggap wajar tingkah laku lelaki tersebut. Budaya patriarki, atau budaya dimana kaum lelaki memiliki posisi yang lebih berkuasa dibanding perempuan, sangat dominan di Indonesia. Apalagi, kehidupan masyarakat di kota-kota besar sudah sangat individual, sehingga apa yang dilakukan orang lain tidak berhak dicampuri.

Mengapa pria menggunakan jasa seks bayaran?
Pertanyaan ini sangat menggelitik Nori. Namun ia menemukan jawaban yang sangat sederhana: karena mereka bisa. Mereka merasa bisa, karena mempunyai uang untuk membayarnya. Uang menciptakan kekuasaan, dalam hal ini berupa pemilikan harta, uang, dan posisi dominan terhadap perempuan. Karena membayar, lelaki merasa bebas menuntut bentuk layanan yang diinginkannya. Memiliki uang memungkinkan lelaki untuk tergoda, mencoba, dan bukan tidak mungkin menjadi tergantung (addicted) pada seks bayaran.

Selain faktor kekuasaan yang terutama berupa uang, lelaki memiliki 1001 pembenaran untuk menjadi pembeli layanan seks bayaran perempuan agar si lelaki dapat pergi dengan damai menikmati panti pijat plus-plus, karaoke mesum, spa plus-plus, dan short time di hotel, begitu kata Nori di halaman 24. Berbagai bentuk pembenaran ini intinya sebenarnya satu, yaitu menempatkan lelaki dalam posisi dominan, berkuasa, dan hegemonik terhadap perempuan.

"Salah satu bentuk pembenaran ini adalah, pria merasa berjasa karena telah memberikan keuntungan (uang bayaran) kepada pihak perempuan," papar Nori, saat diskusi mengenai Jakarta Uncovered, yang berlangsung di kantor The Women Research Institute, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (2/12/2010) lalu. Dengan pria memakai jasa mereka, perempuan jadi memiliki pekerjaan dan penghasilan untuk menghidupi dirinya.

Cara berpikir seperti ini tidak melihat konteks historis para perempuan tersebut. Mayoritas para perempuan ini adalah korban dari kemiskinan struktural, akibat adanya sistem yang tidak adil bagi perempuan. Misalnya, sistem yang ada tidak memberikan pendidikan gratis sampai tingkat yang dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sebagai pekerja profesional. Jadi, bukan karena para perempuan itu malas mencari pekerjaan yang lain.

Nori tidak setuju bila pelacuran disebut sebagai pekerjaan atau profesi. "Apakah itu pilihan hidup yang bebas? Apakah mereka memang mau melakukannya? Itu bukan pekerjaan, tapi keterpaksaan. Saya yakin, tidak ada orang yang dengan bangga mengatakan, 'Profesi saya adalah pelacur!'" tutur lulusan Kajian Wanita Memorial University of Newfoundland, Kanada, ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com