Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewi Kamaratih: Motivasi Ibu Bekerja

Kompas.com - 28/03/2011, 10:23 WIB

KOMPAS.com - Sejak belia, Dewi Kamaratih Soeharto tahu apa yang ia mau. Penuh gairah, ia menikmati perjalanan membangun karier. Kini ia menggeluti hukum korporasi. Dengan cinta meluap pula, ia bekerja untuk dunia pendidikan anak-anak. Namun, ”jabatan” terpentingnya adalah ibu bekerja.

”Saya sudah bercita-cita menjadi lawyer sejak kelas VI SD,” ujar Dewi (44).

Dewi kecil menemukan gambaran masa depannya pada nilai-nilai yang ditanamkan kedua orangtuanya, Dr R Soeharto (1908-2000) dan Shinta Lente Tedjasukmana (1939-1993). Mendiang ayahnya adalah dokter pribadi Presiden Soekarno, beberapa kali pula menjabat menteri selama masa pemerintahan Presiden RI pertama itu. Ibunya seorang penulis.

Jauhnya rentang usia membuat sang ayah sudah pensiun ketika Dewi masih kanak-kanak. Sebagai dokter senior, ayahnya kemudian berpraktik di rumah. Sang ibu pun lebih banyak menulis di rumah sembari mengasuh putra-putrinya. Dewi adalah putri kedua dari enam anak.

Romo dan Ibu—begitu Dewi memanggil mereka—adalah orangtua yang selalu ada untuk anak-anaknya. Bukan hanya karena mereka lebih banyak di rumah, tetapi juga karena mereka memiliki wawasan dan kebijaksanaan untuk memahami anak-anaknya.

Dari Romo dan Ibu, Dewi terinspirasi menjadi seorang profesional, bermanfaat untuk banyak orang, sekaligus menjadi ibu bekerja yang merdeka mengasuh anak-anaknya kelak.

Karena tak suka ilmu pasti, Dewi kecil memastikan ia tak akan menjadi dokter seperti Romo. ”Sejak masih kecil, saya suka menulis, berdebat, dan berorganisasi. Saya merasa cocoknya jadi lawyer,” ujarnya.

Kini, Dewi menjalankan firma hukum yang ia bangun sendiri—sejak tahun 1990 dengan beberapa reorganisasi—sekaligus mendirikan dan memimpin perusahaan jasa manajemen dan konsultansi hak kekayaan intelektual, bidang yang ia dalami kemudian.

Di lingkungan profesi hukum korporasi ia juga aktif dalam berbagai organisasi, salah satunya menjadi pengurus Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal untuk periode ke-4 kalinya.

Hukum bisnis dipilih Dewi karena urusan pidana atau perdata memang tak ia minati. ”Dari zaman saya masuk kuliah dulu, kondisi pengadilan di Indonesia sudah korup. Enggak berubah sampai sekarang,” ujarnya.

Dunia anak
Namun, hukum korporasi bukan satu-satunya dunia Dewi. Pada 1999, ia membangun Sekolah Cikal bersama Najelaa Shihab. Mulai dari kelompok pra-sekolah, kini berkembang dengan taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan tengah dibangun pula sekolah menengah pertama.

Bagi Dewi, belajar bisa di mana saja dan harus selalu menyenangkan. ”Yang paling sulit bagi saya adalah mengubah mind-set orangtua terhadap pendidikan yang pernah mereka dapat dulu dengan pendidikan yang seharusnya diberikan untuk mempersiapkan anak pada masa depan. Jangan dengan mudah kita bilang, ’kalau mamah dulu...’,” tutur Dewi.

Belajar akan terasa menyenangkan apabila anak tidak dipaksa belajar dengan cara yang seragam. Deskripsi visual, cerita, bahkan gerakan, bisa menjadi pilihan cara belajar. Kandungan nilai pun akan lebih terserap dalam diskusi dan berpendapat, bukan dengan hafalan.

Dewi juga meyakini, belajar di sekolah internasional sekalipun tidak seharusnya membuat anak kehilangan kebanggaan atas kekayaan budaya Nusantara. Warna budaya menjadi bagian dari jati diri yang perlu dikenali.

Karena itu, di Cikal, misalnya, setiap empat bulan, siswa mementaskan cerita Nusantara lengkap dengan beragam corak kesenian daerah di Teater Salihara. Tiket dan hasil karya yang dijual di kegiatan ini kemudian disumbangkan.

”Jadi, anak-anak itu membantu sekolah di Sumatera atau Maluku, misalnya, tanpa meminta uang orangtua, sekaligus mempelajari budayanya,” katanya.

Bagi Dewi, dunia pendidikan anak tidak sepenuhnya terpisah dengan bidang hukum korporasi yang ia geluti. Lingkungan profesional hukum bisnis membuat Dewi berpikir dinamis dan memberinya jaringan untuk mendukung kegiatan sosial dan seni.

Di tengah kasus hukum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit-Chandra, misalnya, Dewi dan sejumlah rekan menggelar konser musik di Bundaran HI serta pameran dan lelang lukisan untuk menggalang dukungan publik.

Menggandeng pelaku seni untuk ikut menggaungkan isu hukum bukan hal sulit karena Dewi memelihara jaringan dengan kalangan seni sejak ia aktif di Swara Mahardika saat remaja. Sebagai konsultan hak kekayaan intelektual, ia juga dapat membantu keluarga seniman memanfaatkan royalti.

Bagi Dewi, salah satu aset terpenting sepanjang ia berkarier adalah jaringan untuk menebar manfaat. ”Rentang kerjaan saya mulai dari lawyer, mengelola sekolah, sampai bikin program kesenian buat anak. Dari sisi materi, saya enggak dapat apa-apa dari kegiatan kesenian, tetapi kepuasannya luar biasa,” tutur Dewi.

Ibu bekerja
Saat ditanya motivasinya mendirikan firma hukum sendiri sejak awal berkarier, Dewi mengatakan, ”Saya ingin pekerjaan yang bisa saya lakukan sambil menyusui dan membawa anak kalau perlu. Itu akan lebih leluasa kalau di kantor sendiri.”

Komitmen sebagai ibu bagi ketiga anaknya—Athia (17), Aiman (14), dan Ainaa (6)—tercermin dalam keseharian Dewi melakoni pekerjaan. Ia memberikan ASI eksklusif tiap kali usai melahirkan. Dalam masa menyusui, perjanjian dengan klien atau mitra kerja mencakup kesepakatan untuk menyelingi kegiatan dengan waktu memerah ASI. Pertemuan di luar jam kerja juga dilakukan dengan membawa anak saat masih bayi. ”Stand saya memang ibu bekerja,” ujarnya.

Setelah anak-anaknya menjadi remaja, Dewi menjadwalkan kencan dengan anak di antara agenda pertemuan dengan klien. Kegiatan saat berkencan pun disesuaikan dengan kebutuhan si anak. Seusai pertandingan sepak bola, misalnya, Aiman bisa memilih berkencan dengan ibunya di tempat pijat.

”Orang harus punya batas, kapan bilang enggak. Kalau mau, pekerjaan bisa terus bertambah, uang juga bisa tambah banyak, tetapi waktu untuk keluarga makin enggak ada,” ujar Dewi.

Senyum di wajah Dewi menegaskan, ia memang tahu apa yang ia mau.

(Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com