Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengolah Sutra Emas Menjadi Aneka Aksesori

Kompas.com - 02/05/2011, 15:03 WIB

KOMPAS.com - Bagi kebanyakan orang, sutra emas mungkin masih asing. Pasalnya, jenis sutra yang lekat di telinga kita adalah sutra putih. Padahal, sutra emas diperoleh dari jenis ulat sutra asli Indonesia. Di tangan Citra Ayu Furry (22), benang-benang sutra berwarna emas itu diolah menjadi aneka aksesori yang cantik. Awalnya hanya iseng, tetapi hasilnya ternyata direspons positif oleh pasar.

Pergulatan Citra dengan ulat sutra emas berawal dari kegiatan praktikum kampus. Mahasiswi Jurusan Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), itu sempat memperoleh praktikum budidaya ulat sutra emas pada semester VII. Bersama teman-temannya, dia mulai membudidayakan ulat sutra sampai terbentuk kepompong. Setelah kepompong menetas, bekas cangkangnya dibiarkan begitu saja di kandang oleh teman-temannya.

”Dari situ saya kepikiran untuk memanfaatkan cangkang kepompong tersebut. Setelah saya amati, serat cangkangnya ternyata sangat indah dan berwarna emas. Saya pun tertarik memanfaatkannya menjadi bros. Bros itu saya pakai sendiri. Ternyata banyak teman yang suka. Dari situlah saya mulai mengembangkan usaha,” ujar perempuan kelahiran Lampung tersebut.

Perlahan tetapi pasti, Citra mulai membuat berbagai jenis aksesori, seperti anting, kancing baju, dan tas. Kiprahnya itu mendapat apresiasi dari pihak Rektorat IPB. Ia ditunjuk untuk mewakili IPB dalam pameran Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Malang tahun 2009.

Sukses dalam pameran di Malang membuat pesanan terus mengalir. Kegigihan Citra membuat IPB yakin mengikutsertakan dia dalam program kreativitas dari Direktorat Pendidikan Tinggi. ”Lama-lama banyak yang mulai suka dengan sutra emas,” katanya.

Menurut Citra, sutra emas banyak dijumpai di Indonesia. Berbeda dengan sutra putih yang hidup di lingkungan udara dingin, sutra emas justru banyak ditemui di daerah tropis. Sayangnya, sutra emas belum banyak dibudidayakan karena penelitian soal itu masih sedikit. Ulat itu masih hidup liar sehingga untuk mendapatkan pasokan bahan baku masih sulit.

”Sebenarnya, masyarakat sering menemui ulat tersebut, terutama di pohon avokad, jambu mete, dan beberapa jenis tanaman buah lain. Sayangnya, masyarakat sering membunuh ulat tersebut karena dianggap hama. Padahal, daun tanaman yang dimakan ulat itu justru akan tumbuh subur,” ujar gadis berkerudung tersebut.

Masyarakat mengenal ulat sutra emas sebagai ulat kipat (Cricula trifenestrata). Belum adanya budidaya ulat sutra emas membuat Citra harus memburunya hingga ke luar Jawa. Ia sudah memiliki pengepul di daerah Jawa Tengah dan Sulawesi. Citra biasanya membeli ulat sutra itu Rp 80.000-Rp 100.000 per kilogram.

Citra sebenarnya sudah mencoba beternak ulat sutra emas, tetapi belum berhasil. Dalam percobaan pertama, ia mengambil sampel ulat dewasa. Meski bisa tumbuh hingga ulat bertelur, telur tersebut tidak bisa menetas. Dalam percobaan kedua, ia mengambil sampel telur ulat. Meskipun bisa menetas, tak lama kemudian ulat-ulat hasil tetasan itu mati.

”Masih sangat sedikit penelitian soal sutra emas. Hal ini berbeda dengan sutra putih yang sudah dibudidayakan masyarakat sejak ratusan tahun silam. Saya berharap ada dukungan dari pemerintah untuk menggalakkan budidaya sutra emas. Potensi sutra emas sangat besar, tetapi sayang belum bisa dibudidayakan. Saat ini saya masih terus berkonsentrasi untuk budidaya sutra emas. Skripsi saya juga mengenai hal tersebut,” paparnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com