Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersepeda, Olahraga yang Menjadi Gaya Hidup

Kompas.com - 05/08/2011, 04:42 WIB

Oleh Antonius Purwanto

Tak banyak jenis olahraga yang mampu bermetamorfosis menjadi sarana hiburan, sarana komunikasi, dan akhirnya menjadi gaya hidup. Meski tak semata merupakan jenis olahraga, aktivitas bersepeda tampaknya menjadi fenomena itu. Bersepeda tumbuh menjadi hobi yang sangat populer, menjawab kebutuhan berbagai lapisan usia, dan merambah beragam strata sosial ekonomi. 

Alat fungsional yang semula merupakan sarana transportasi sederhana dan murah itu kini tak bisa dipandang remeh. Karena bergerak menjadi sebuah gaya hidup, harga sebuah sepeda tak lagi murah, terdongkrak oleh berbagai strategi pemasaran dan pencitraan. Sebuah sepeda gunung produk massal spesifikasi tinggi bisa bernilai hingga lima puluhan juta rupiah! Padahal, satu dekade lalu, produk sepeda sejenis paling-paling bernilai di kisaran ratusan ribu rupiah.

Atau tengoklah fenomena ribuan orang ber-fun bike di kota besar saat ini. Bulan lalu, harian ini bersama sejumlah pihak menyelenggarakan fun bike dengan peserta mencapai sekitar 30.000 pesepeda. Padahal, dari catatan situs salah satu produsen sepeda, dari Januari hingga Juli 2011 tercatat diselenggarakan 91 acara fun bike di seluruh Indonesia. Itu belum termasuk kegiatan bersepeda yang berorientasi semi adventure di spot tertentu.

Di kawasan tempat kumpul para pesepeda seperti jalur JPG (Jalur Pipa Gas), Cimanuk, Jalur Puncak (sekitar Jakarta), Cangkringan-Kaliurang (utara Yogyakarta), atau Wonorejo (Surabaya), tiap akhir pekan bisa berkumpul ratusan orang. Berkumpulnya ratusan pehobi sepeda itu dengan sendirinya mengundang bermacam jenis penyedia kebutuhan pesepeda yang menghidupkan perekonomian dalam skala tertentu.

Tingginya minat masyarakat untuk bersepeda berimbas pada munculnya berbagai komunitas sepeda, di antaranya komunitas jenis sepeda tertentu seperti komunitas sepeda lipat, komunitas sepeda fixie, komunitas sepeda low rider, komunitas sepeda ontel, dan masih banyak komunitas lainnya.

Apa yang tampak sebagai euforia dan merebaknya peminat bersepeda di negeri ini terekam juga dalam jajak pendapat yang dilakukan harian ini. Dari jawaban responden di 12 kota besar yang menjadi sampel wawancara, sebagian besar (sekitar 75 persen) menyatakan kini makin banyak warga kota mereka yang menggunakan sepeda sebagai alat beraktivitas, baik untuk berolahraga maupun hobi. Meski demikian, penggunaan sepeda sebagai alat transportasi fungsional dilihat responden lebih sedikit penggunaannya sebagaimana tecermin dari jawaban 46,4 persen responden.

Dari responden yang menyukai bersepeda, lebih dari separuh mengaku rutin bersepeda satu atau dua kali dalam seminggu, sementara 24 persen responden mengaku lebih dari tiga kali seminggu bersepeda. Mengapa bersepeda kembali memikat hati masyarakat saat ini? Jawaban responden bermacam-macam, selain menjaga kebugaran, publik juga memaknai bersepeda sebagai wujud cinta lingkungan, gaya hidup, dan ajang rekreasi. Tiga dari empat responden berpendapat, bersepeda menjadi solusi terbatasnya waktu olahraga.

Tercatat hampir seluruh responden memiliki sepeda di rumahnya. Hampir tujuh puluh persen responden bahkan memiliki lebih dari dua sepeda dari berbagai jenis. Meskipun proporsi warga yang bersepeda secara keseluruhan hanya seperempat bagian responden, namun dari kalangan yang bersepeda dua dari sepuluh responden jajak pendapat mengaku bersepeda ke kantor atau ke sekolah setidaknya sekali dalam seminggu.

Pasang Surut

Budaya bersepeda di Indonesia setidaknya dikenal sejak zaman penjajahan Belanda menjelang abad ke-19. Namun, pada masa itu hanya kalangan pangreh praja dan kaum ningrat daerah yang mampu membeli sepeda buatan Belanda. Sepeda menjadi simbol kemapanan dan gengsi di tengah strata sosial masyarakat masa kolonial saat itu.

Setelah era kemerdekaan, berbagai produk sepeda makin bervariasi dalam bentuk, fungsi, maupun harga. Umumnya orang menggunakan sepeda ”kumbang”, sepeda ”jengki”, sepeda ”unta”, dan sepeda ”ontel” produksi Jepang, China, Eropa, maupun produk dalam negeri. Yang jelas, sepeda lebih banyak berfungsi sebagai alat fungsional yang mencapai era puncaknya, dengan penanda banyak berseliweran di jalan raya, sampai tahun 1970-an.

Fenomena bersepeda memperoleh momentum baru setelah tahun 1990-an muncul model sepeda baru, yakni ”sepeda gunung”, terjemahan bebas dari mountain bike. Meski belum langsung populer, bersepeda mulai kembali marak meski tidak lagi bersifat alat transportasi utama di jalan raya. Sejak kelahiran sepeda gunung itulah aras kebiasaan orang bersepeda bergeser lagi dari alat transportasi fungsional perlahan menjadi kegiatan hobi dan akhirnya menjadi gaya hidup perkotaan.

Beberapa komunitas yang menjadi wadah berkumpulnya para pekerja bersepeda di antaranya yang terkenal perkumpulan bike to work (B2W). Sebagai organisasi dan sebuah gerakan, B2W sedikit banyak mendorong sejumlah pekerja eksekutif Jakarta yang biasanya menyetir mobil beralih menunggang sepeda sebagai alat transportasi. Perlahan, komunitas ini pun menyebar tak hanya di Jakarta, tetapi juga Surabaya, Palembang, dan kota besar lainnya. Di Yogyakarta, ada pula gerakan ”Sego Segawe”, kependekan sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe (sepeda untuk sekolah dan bekerja). Gerakan ini diharapkan menumbuhkan kembali minat bersepeda di Yogyakarta di tengah budaya menggantikan bersepeda dengan naik motor.

Harapan publik

Tingginya minat bersepeda (gunung) saat ini membuat bisnis seputar sepeda kembali bergairah. Berbagai jenis sepeda dan aksesori pun kembali laku di pasaran, mulai dari toko pinggir jalan sampai mal besar. Sayangnya, meningkatnya permintaan sepeda yang diperkirakan 15-20 persen per tahun belum mampu dicukupi produksi dalam negeri. Kebutuhan sepeda dalam negeri diperkirakan lima sampai enam juta unit per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya di bawah 2,5 juta unit per tahun. Selama ini kekurangan pasokan sepeda di dalam negeri ditutup dengan impor, sebagian besar didatangkan dari China.

Mayoritas publik meyakini bersepeda berpotensi digemari dan dikembangkan, namun sayangnya hingga saat ini belum diimbangi dengan sarana yang memadai. Dorongan dari pemerintah berupa aturan dan perlindungan khusus bagi pengguna sepeda di jalan raya juga masih kurang. Baru segelintir kota, antara lain kota Solo, yang cukup steril jalur sepedanya sehingga penunggang sepeda nyaman dan tidak takut.

Barangkali perlu juga belajar dari negara lain seperti Belanda, Denmark, dan Jerman yang pemerintahnya menyiapkan infrastruktur yang bersahabat dan sistem transportasi sepeda yang terintegrasi penuh dengan transportasi umum, namun tetap aman bagi pesepeda.

Antonius Purwanto Litbang Kompas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com