Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Chef Juna: Galaknya Tidak Dibuat-buat - Bagian I

Kompas.com - 16/08/2011, 13:20 WIB

Keras dan disiplin
Sekarang, memasak tentu sudah menjadi passion-nya. Seorang chef baginya seperti seorang seniman. Dapur bagaikan sebuah laboratorium, di mana chef bereksperimen di sana. Ada eksperimen yang berhasil dan ditampilkan di menu, tetapi tak sedikit yang gagal. Namun, ada kepuasan tersendiri saat menumpuk dan mencampur bahan makanan. Selain itu, ketika melayani dan membuat orang lain bahagia, lalu mereka memuji sajian dan layanan chef, hal itu menimbulkan kepuasan tersendiri.

"Saya suka dentang wajan dan panci di atas kompor, seperti musik di telinga saya. Seperti orkestra, saya berkomunikasi dengan para koki lain untuk membuat pesanan tepat waktu. Adrenalinnya, kesibukannya, tempo cepat, dan tekanan, ketika itu semua selesai, tahu bahwa saya baru saja melewati satu malam yang sibuk untuk melayani orang, menciptakan sebuah kebahagiaan di dalam yang hanya saya yang bisa rasakan. Dan, hal itu memberi senyum di wajah saat saya tertidur pulas di malam hari," demikian pendapat Juna seperti ditulisnya dalam sebuah siaran pers.

Tidak mudah menjalankan restoran yang mampu memberikan layanan yang memuaskan. Juna menerapkan disiplin yang sama kerasnya terhadap para chef baru. Di dapur, semua harus memulai dari tingkat yang paling bawah, seperti mengupas kentang. Juna mengutamakan presisi dalam hal ini. Jika diminta memotong kentang dengan ukuran 2 cm x 2 cm, hasilnya harus tepat seperti itu. Jika ukurannya tidak tepat, ia tak ragu membuangnya.

Semakin profesional dan berkelas sebuah kitchen, tekanan di dalamnya juga semakin tinggi. Chef baru harus belajar dengan cepat. "Kalau sudah diajarin sekali-dua kali enggak bisa, bisa habis mereka. Memang kelihatannya enggak fair, tapi saya juga menghargai mereka yang punya mimpi (untuk menjadi chef). Buat saya, hasil akhir belakangan. Yang penting adalah attitude, menghargai ingredients, dan mereka mau memaksa diri untuk belajar," kata Juna.

Ia berkali-kali mengingatkan bahwa profesi ini sangat membutuhkan dedikasi. Ia sendiri biasa bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 02.00 dini hari. Chef tidak mengenal hari libur karena pada hari-hari libur justru orang-orang bersantap di restoran. Butuh kemauan keras serta fisik dan mental yang kuat untuk mampu menjalani profesi ini. Chef yang lahir dari pendidikan yang luxury dan terbiasa dengan fasilitas dari orangtua, menurut dia, belum tentu bisa tahan dengan ritme kehidupan di sebuah professional kitchen yang keras.

"Saya merasakan, ketika hidup dengan pressure, saya jadi selalu takut gagal sehingga saya tidak berhenti belajar. Di situlah passion dibutuhkan agar orang-orang di professional kitchen, khususnya chef, bisa tahan banting," ungkapnya. (Tenni Purwanti)

(Bersambung ke bagian II: Chef Juna: "Saya Sebenarnya Pemalu")

Baca juga: Juna: Jadi "Chef" Enggak Cukup Cuma Berbekal "Passion"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com