Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Terbelenggu Partai Politik

Kompas.com - 26/09/2011, 02:09 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana reshuffle atau mengganti menteri kabinet hendaknya dipandang sebagai momentum tepat untuk memperbaiki kerja kabinet pada sisa masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Perombakan kabinet tersebut semestinya dilakukan dengan tanpa rasa takut atau terbelenggu partai politik yang ada.

”Logika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyusun kabinet adalah bagi-bagi jatah menteri untuk parpol lain, tetapi diminta mendukung dia di parlemen. Jadi, reshuffle ini tidak mudah bagi SBY karena partai politik menjadi hambatan,” kata pengamat politik Yunarto Wijaya dari Charta Political di Jakarta, Minggu (25/9).

Menurut pakar hukum tata negara Fajrul Falaakh, reshuffle kabinet sudah saatnya dilakukan karena kinerja kementerian dan pemerintah sedang disorot masyarakat. Reshuffle merupakan kebutuhan presiden untuk meningkatkan kinerja pemerintah/kementerian. Kalau memang terindikasi di kementerian itu kesalahan pribadi menteri, tetap saja presiden yang harus bertanggung jawab.

”Masalahnya, tantangan setelah reshuffle itu mau apa. Setelah terjadi reshuffle atau posisi menteri dikocok ulang, presiden harus memberi arah yang tepat kepada menteri baru tersebut, tidak sekadar memilih orang yang tepat,” kata Fajrul.

Menurut Yunarto, kabinet yang dibangun dengan pertimbangan politik—saat ini sekitar 60 persen keseluruhan kabinet/kementerian adalah orang- orang partai politik yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan departemen yang dipimpinnya—memang sangat riskan.

”Jika kementerian banyak diisi orang partai politik, ada dua masalah yang terjadi. Pertama, orang tersebut tidak mempunyai kapabilitas. Kedua, soal loyalitas: dia sebagai pembantu presiden, tetapi sekaligus juga orang partai yang harus menyuarakan partainya. Karena inilah kabinet menjadi stagnan,” katanya.

Pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Abdul Aziz SR, pada Sabtu (24/9) di Surabaya mengatakan, reshuffle harus dilakukan terhadap sejumlah menteri yang kinerjanya dipandang jelek oleh masyarakat. ”Menteri-menteri SBY lebih banyak bekerja melalui media daripada menyelesaikan masalah di lapangan. Beriklan itu, selain menunjukkan kelemahan kapasitas, sekaligus menghabiskan uang negara hanya untuk membangun citra,” katanya.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang Mas’ud Said juga mengatakan, reshuffle harus berdasarkan kinerja menteri dan alasan permasalahan hukum serta kesehatan. Dia mengatakan, Presiden harus menghindari reshuffle kabinet menjadi ajang bancakan parpol.

”Jika reshuffle sebatas ajang bancakan parpol, itu jelas tak akan berarti apa-apa. Apalagi, menteri baru pasti butuh waktu untuk menyesuaikan dan mengenali bidangnya sehingga sulit diharapkan kinerja membaik dalam waktu dekat,” katanya.

Pesimistis

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar pesimistis langkah Presiden melakukan reshuffle kabinet akan membawa dampak bagi perbaikan kondisi Indonesia. Pasalnya, Presiden diperkirakan akan lebih mengedepankan aspirasi partai politik daripada aspirasi publik.

Menurut Zaenal, wacana perombakan kabinet yang bergulir belakangan ini dinilai sebagai wacana tidak serius dan sekadar menjadi bumbu penyedap bagi koalisi partai (yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan) yang hambar. Wacana tersebut hanya menjadi alat untuk merekatkan kembali parpol-parpol koalisi.

”Saya tidak percaya akan ada reshuffle. Kalaupun ada, itu tidak akan mengubah apa pun karena reshuffle pasti dilakukan dengan mendahulukan aspirasi politik. Presiden kita itu lebih takut kepada koalisi daripada aspirasi publik,” kata anggota staf pengajar Fakultas Hukum UGM tersebut. (ana/ANO/LOK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com