Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemimpin Komunitas yang Tak Berjarak

Kompas.com - 02/02/2012, 09:29 WIB

KOMPAS.com - Dalam krisis ekonomi yang tidak berkesudahan dan tidak terprediksi ini, masih ada krisis lain, yang terasa, dibahas, tetapi tidak pernah terangkat ke permukaan dengan gamblang, yaitu rasa peduli dan sense of belonging. Kita bisa melihat bahwa memang sudah tercipta jarak antara karyawan dan perusahaan, antara para pejabat dengan rakyat. Demikian juga, empati rakyat pun hampir tidak ada terhadap para pemimpinnya. Apa penyebabnya? Tak jarang kebijakan atau tindakan yang diambil para pemimpin, terutama di saat krisis, tidak mencerminkan kepedulian pada manusia dalam kelompok dan pada “komunitas”-nya.

Bila perusahaan mengalami guncangan finansial, hampir pasti yang dilakukan adalah memangkas ongkos sumber daya manusia untuk mempertahankan laba, misalnya memangkas fasilitas, menghentikan program pengembangan karyawan, apalagi program CSR. Akibat tidak langsung terhadap manusia yang menjadi penunjang utama jalannya ekonomi, perusahaan ataupun lembaga adalah tumpulnya perasaan dan ketidakpedulian terhadap perasaan orang lain, yang sebenarnya menjadi perekat penting dalam organisasi. Upaya penyuntikan dana yang dilakukan untuk membuat perusahaan sehat kembali dan mengembalikan motivasi karyawan, sering terlihat sia-sia.

Perusahaan atau lembaga pemerintah memang perlu melakukan “re-engagement”. Praktek- praktek manajemen dan  kepemimpinan perlu ditinjau kembali. Para pemimpin, direktur, pejabat negara, saat sekarang kebanyakan duduk di ruang kerja atau ruang rapat yang mewah, mengumumkan sasaran yang harus dicapai, menekankan arah perusahaan, tanpa turun ke bawah dan berusaha menyentuh individu untuk meningkatkan kinerja bawahan. Mereka seolah duduk di puncak piramida, susah turun dan benar-benar tidak bisa mengetahui apa yang terjadi di dalam piramida tersebut. Kepemimpinan bisa membuat mereka seolah terpisah dari bawahan. Bukankan ini suatu kesalahan yang fatal? Masihkan mempan cara-cara memimpin seperti ini?

Bukan di “puncak”, namun di “tengah”
Kita tentu perlu bertanya-tanya bila seorang pemimpin sama sekali tidak bisa masuk ke dalam komunitasnya sendiri. Padahal, komunitas eksis dan sangat diperlukan. Kita semua tahu betapa Barack Obama berhasil memenangkan pemilihan presiden melalui kekuatan komunitas yang dibangunnya dalam waktu yang relatif singkat. Komunitas mempunyai perekat sosial yang berefek magic dan bisa membuat kelompok berkinerja  luar biasa.

Dalam sebuah pertemuan, seorang CEO bank Syariah, mengemukakan bahwa anak buahnya diajak bersama-sama menyalurkan zakat pendapatannya, melalui program CSR perusahaan. Karyawan diminta menyisihkan 20 persen bonusnya dan ikut menyumbangkannya ke dalam program CSR perusahaan. Kegiatan ini tidak hanya membuat mereka mudah menyatukan derap langkah, namun sekaligus memberi kebanggaan karena mereka mampu menjalankan peran pribadi sekaligus peran sosial dengan seimbang. Dengan demikian, komunitas mendorong dirinya sendiri untuk peduli terhadap tempat kerja, teman kerja, dan lingkungan..

Hal yang juga sering terabaikan adalah situasi komunikasi. Banyak pemimpin yang alih-alih memikirkan cara komunikasi ke bawah, malah ia sendiri pun mempraktekkan komunikasi searah dengan nyaman-nyaman saja. Seorang CEO yang menyadari bahwa birokrasi di perusahaannya sudah sangat menghambat dan menyulitkan, mengubah seluruh layout kantor menjadi satu bangsal direksi, yang tidak memerlukan privacy sama sekali, sehingga mereka dengan mudah bisa berinteraksi, satu sama lain, kalau perlu sedikit berteriak, maupun dengan dirinya. Ia pun mendorong dihidupkannya kembali komunikasi face to face  dan penggunaan papan tulis untuk pencatatan dan reminders.

Seorang pimpinan yang berada di pusat kelompoknya, tetap harus kuat menggarap data dan bekerja berdasar fakta. Selain anak buah juga akan terdidik untuk bekerja secara akurat, ia pun lebih mampu memperbaiki kinerja anak buahnya dengan cara ini.  

Bangkitkan “power to act”
Dalam buku barunya, Community: The Structure of Belonging, Peter Block mengungkapkan, bahwa  suatu lingkungan hanya akan berubah bila ada sekelompok manusia yang menemukan sendiri “power to act”-nya dan tidak menunggu pemimpinnya untuk melakukan sesuatu. Peter Block menyebutkan orang-orang ini sebagai “the remnants of community” atau “remah-remah” komunitas, yang justru mempunyai kekuatan obsesif yang bertenaga dan berdedikasi  besar.  Jelas bahwa pemanfaatan dinamika komunitas ini berbeda dengan sikap memperlakukan manusia dalam organisasi sebagai manpower alias buruh. 

Pada saat perusahaan-perusahaan farmasi terpuruk secara finansial dan berusaha mempertahankan laba perusahaan, apakah perusahaan memikirkan bahwa masih ada tenaga-tenaga riset yang masih berobsesi untuk mencari penyembuhan bagi penyakit-penyakit mematikan dan bukan sekadar menciptakan obat yang akan diperdagangkan? Pada saat orang saling tuding, menyelamatkan diri dari tuduhan korupsi, apakah para penguasa memperhatikan bahwa masih ada individu-individu idealis yang mempunyai keyakinan besar bahwa negara ini akan semakin baik?

Pemimpin yang ingin menggerakkan kelompoknya di zaman sekarang perlu mengajak kelompok untuk melihat tujuan perusahaan, membuat ukuran keberhasilan jangka pendek, dan memberi kesempatan karyawan menemukan sendiri cara mencapainya. Semua orang yang bekerja di Google tahu bahwa tempatnya bekerja bertujuan untuk membuat informasi gampang diketahui dan diakses. Pengetahuan inilah yang membangkitkan life force dan nyawa organisasi.

Jadi, bila dulu kita berkonsentrasi pada karyawan yang berkinerja baik, berkontribusi pada laba perusahaan, maka tidak ada salahnya kita melirik pada  individu-individu  yang bermotivasi tinggi dan berobsesi tentang suatu hal yang berkaitan dengan organisasi. Bebaskan mereka berimajinasi dan berinisiatif dan berilah support. Dengan cara ini kita sudah menyulut sumbu motivasi perusahaan yang akan tak disangka-sangka berdampak sangat besar pada perusahaan atau lembaga.  

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Baca juga:
"Anda Tahu Saya Ini Siapa?"
Mengapa Kita Malu Bertanya Saat Presentasi?
"One-Man-Show" Tak Selalu Negatif
Mengapa Kita Takut Gagal?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com