Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelestari Tenun Ikat Pemberdaya Perempuan - Bagian I

Kompas.com - 17/02/2012, 23:31 WIB

KOMPAS.com - "Kami bukan perajin. Saya selalu bilang itu pada media, pada ibu menteri dan duta besar. Tenun ikat adalah seni bernilai tinggi, identitas budaya bangsa bernilai folk art. Pekerjanya adalah artist, seniwati bukan perajin," tutur Alfonsa Raga Horeng, STP, perempuan yang lahir dan besar di desa Nita, kabupaten Sikka, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Alfonsa adalah sosok perempuan inspiratif dari Indonesia timur yang berani bersuara lantang memperjuangkan tenun ikat, benda seni warisan leluhurnya yang tak menarik perhatian generasi muda. Keinginan perempuan kelahiran 1 Agustus 1974 ini tak terbendung sejak 2002 untuk memelajari tenun ikat. Kemudian mendokumentasikan proses pembuatan tenun ikat khas Flores.

Atas upayanya dan intelektualitasnya, Alfonsa tak hanya berhasil menggandeng kembali generasi muda Flores untuk kembali mencintai tenun ikat bernilai adat. Anak sulung dari dua bersaudara ini juga kerap melakukan perjalanan ke luar desanya, menghadiri undangan berbagai kegiatan di Jakarta hingga terbang ke Amerika dan Eropa, bicara di forum dunia mengenai tenun ikat dari Flores.

Menggali ilmu tenun ikat
Perempuan berlatar pendidikan tinggi teknologi pertanian ini pantang menyerah mendatangi satu per satu perempuan penenun di kampung halamannya. Ia belajar menenun dari generasi tua yang disebutnya guru, maestro, profesor tenun. Ia menjelajah sejumlah desa di Sikka, untuk mendalami ilmu tenun ikat yang ia yakini takkan mungkin didapatkan di belahan dunia mana pun.

"Kaum ibu usia 45 hingga nenek 90 tahun adalah tempat belajar saya. Mereka adalah maestro tenun, para profesor," jelasnya saat berbincang bersama Kompas Female di sela kegiatannya di pameran kain tradisional unggulan nusantara, Adi Wastra Indonesia, Jakarta Convention Center, Jumat (17/2/2012).

Sebutan guru juga profesor sengaja diciptakan Alfonsa, untuk membesarkan hati kaum perempuan yang teguh mempertahankan akar budaya. Baginya, perempuan pelestari kain tenun ikat membutuhkan dukungan untuk terus mencipta kain adat (kain yang dipergunakan untuk upacara adat) ini. "Ibu yang masih menenun, memiliki alat tenun tradisional di rumahnya, memakai sarung di rumah, adalah contoh bagi anak-anaknya," ungkapnya.

Kepada kaum ibu di Sikka inilah Alfonsa berguru, menggali proses menenun, termasuk meramu pewarna alam dari tumbuhan, juga memahami makna di balik aneka motif kain adat. Namun ia tak sekadar belajar dan mempraktikkan proses menenun. Kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya, diwujudkannya dalam aksi nyata. Alfonsa mencatat rapi semua ilmu yang didapatinya dari sang guru, mendokumentasikan, dan membuat standar warna dan motif kain tenun ikat.

Kontribusi Alfonsa terhadap pelestarian kain tenun ikat tak berhenti sampai disitu. Ia bahkan mampu menemukan kekurangan dari setiap tenun ikat yang dibuat secara tradisional. Namun ia tak hanya mencari masalah, tapi juga memberikan solusinya. "Warna kain tenun tidak sama, motif pecah, saya menemukan ini pada kain-kain adat. Kualitas tenun dipengaruhi proses pembuatannya, bagaimana postur tubuh penenun juga memengaruhi, tarikan saat menenun apakah halus atau kencang, teknik yang berbeda berdampak pada hasil akhirnya. Itulah sebabnya saya membuat gugus kendali mutu," jelasnya.

Mementingkan kualitas
Kualitas kain tenun ikat, kata Alfonsa, harus terjaga mulai dari benang pemintal, pewarna alam, orisinalitas motif. Kain tenun ikat yang berkualitas adalah kain yang punya karakter tanah leluhur, imbuhnya.

Kain tenun ikat berkualitas punya nilai tinggi. Kadang, nilai inilah yang dikesampingkan oleh penenun lantaran hanya mengejar waktu pembuatan. Padahal, katanya, kain tenun ikat sepanjang tiga meter dengan lebar 100 cm dengan kualitas tinggi memiliki nilai yang sama dengan seekor kuda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com