Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelestari Tenun Ikat Pemberdaya Perempuan - Bagian II (Habis)

Kompas.com - 17/02/2012, 23:35 WIB

KOMPAS.com - "Kami bukan perajin. Saya selalu bilang itu pada media, pada ibu menteri dan duta besar. Tenun ikat adalah seni bernilai tinggi, identitas budaya bangsa bernilai folk art. Pekerjanya adalah artist, seniwati bukan perajin," tutur Alfonsa Raga Horeng, STP, perempuan yang lahir dan besar di desa Nita, kabupaten Sikka, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Alfonsa adalah sosok perempuan inspiratif dari Indonesia timur yang berani bersuara lantang memperjuangkan tenun ikat, benda seni warisan leluhurnya yang tak menarik perhatian generasi muda. Keinginan perempuan kelahiran 1 Agustus 1974 ini tak terbendung sejak 2002 untuk memelajari tenun ikat. Kemudian mendokumentasikan proses pembuatan tenun ikat khas Flores.

Atas upayanya dan intelektualitasnya, Alfonsa tak hanya berhasil menggandeng kembali generasi muda Flores untuk kembali mencintai tenun ikat bernilai adat. Anak sulung dari dua bersaudara ini juga kerap melakukan perjalanan ke luar desanya, menghadiri undangan berbagai kegiatan di Jakarta hingga terbang ke Amerika dan Eropa, bicara di forum dunia mengenai tenun ikat dari Flores.

Anak muda jadi dilema
Meski sukses membangun sentra tenun ikat di Sikka, Maumere, Flores, Alfonsa mengaku masih menghadapi dilema. Satu sisi, ia ingin tenun ikat bernilai adat tetap lestari, di sisi lain ia juga ingin menggandeng lebih banyak anak muda Flores untuk mencintai akar budayanya, memelihara tenun bersamanya. Namun anak muda, katanya, mudah tergiur dengan pekerjaan bergengsi di desa, menjadi pegawai negeri sipil. Atau menjalani pekerjaan lain yang mendatang uang lebih cepat, dibandingkan menenun.

"Perempuan banyak dirasuki mengenai pekerjaan sebagai PNS. Generasi muda anggap remeh tenun," ungkapnya.

Dukungan dari pemerintah yang memberikannya mesin ATBM, memberikan solusi. Alfonsa juga terbuka pada masukan yang diterimanya, untuk memberdayakan perempuan muda, memproduksi tenun namun bukan dengan menggunakan alat tenun gedog yang tradisional. Kain tenun ATBM yang lebih tipis, dengan motif yang sama seperti tenun ikat, kemudian diciptakan. Namun bukan kain yang diperdagangkan, melainkan tenun yang dihadirkan dalam bentuk tas atau busana siap pakai.

Sejumlah desainer ternama juga melirik sentra tenun yang dikelola Alfonsa. Mereka mencipta produk fashion berkualitas dari kain tenun ATBM berkualitas buatan para seniwati Flores. Alfonsa menyebut sejumlah nama desainer ternama Indonesia: Anne Avantie, Stephanus Hammy, Priyo Oktaviano, Lenny Agustin, Samuel Wattimena, Ghea Panggabean.

Alfonsa memimpin sentra utama tenun ikat di Flores, melibatkan 38 penenun aktif. Sentra tenun juga memiliki cabang di desa-desa, dengan setiap desa memiliki 2-3 cabang. Masing-masing cabang di desa memiliki 4-22 penenun. "Dukungan dari kepala desa sangat penting dan berpengaruh. Ada satu desa yang memiliki 143 penenun karena kepada desanya menggerakkan kaum perempuan untuk menenun," tuturnya.

Satu desa juga memiliki motif tenun yang berbeda dengan desa lainnya. Sepanjang perjalanannya menggali ilmu tenun, Alfonsa menemukan ada 81 motif tenun berbeda di tiga wilayah di Sikka, Flores. Kekayaan motif tenun ini menjadi benda seni bernilai ekonomi tinggi. Adalah tanggung jawab personal bagi Alfonsa, untuk menyadarkan kembali masyarakat Flores mengenai nilai tenun ikat ini. "Minimal, sehelai kain tenun ikat dari benang pintal dan warna alam untuk ukuran tiga meter 90 cm, bernilai Rp 3,5 juta," ungkapnya.

Namun menjadi dilema bagi Alfonsa, karena untuk anak muda, nominal ini tak ada nilainya jika harus diupayakan dalam waktu lama. "Prosesnya lama dan uangnya didapatkan juga lama, ini yang menjadi kendala bagi anak muda. Mereka hanya melihat profit," jelasnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com