Poros Kedu-Prambanan kerap dipandang sebagai kawasan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah pada abad ke-8 hingga ke-10. Anggapan itu tak lepas dari kayanya tinggalan berupa candi-candi megah yang puncaknya adalah bangunan monumental Prambanan dan Borobudur.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Sugeng Riyanto, mengatakan, wilayah Jawa Tengah berkembang menjadi pusat budaya masa klasik abad ke-7 sampai ke-10. Budaya yang dipengaruhi kebudayaan India itu mencapai perkembangan pesat di wilayah Kedu dan Prambanan. Poros Kedu-Prambanan meliputi daerah-daerah yang termasuk wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya sekitar Prambanan.
Di kawasan Kedu terdapat Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Ngawen, dan candi-candi lain di sekelilingnya. Di sekitar Prambanan terdapat Candi Prambanan (Lorojonggrang), Sewu, Plaosan, Sari, Kalasan, Sambisari, dan candi-candi lain. Selain candi, di kawasan ini ditemukan juga banyak prasasti.
Menurut Sugeng, banyaknya tinggalan candi besar dan megah tersebut menunjukkan indikasi adanya kota besar pada masa itu. Dengan banyaknya bangunan keagamaan tersebut, tentu di sekitarnya terdapat komunitas yang menggunakannya sebagai sarana ibadah.
Berbagai aspek kehidupan saat itu dipengaruhi pula oleh dua agama besar, yakni Hindu (Siwa) dan Buddha, serta pengaruh dua wangsa raja-raja, yaitu wangsa Syailendra dan Sanjaya. Soal adanya dua wangsa ini ditentang oleh Poerbatjaraka yang berpandangan hanya ada satu wangsa, yakni Syailendra. Anggota wangsa ini menganut agama Siwa, tetapi kemudian menjadi penganut agama Buddha Mahayana.
Nama Mataram diduga muncul pada awal abad ke-8, saat Sanjaya berkuasa. Ia menyebut dirinya sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan Medang sebagai pusat kerajaan. Mengutip Sejarah Nasional Indonesia II (1984), sebelumnya tidak diketahui nama kerajaan di Jawa Tengah ini.
Pusat Mataram Kuno disebutkan berpindah dari daerah Kedu lalu ke lembah lereng Gunung Merapi di sebelah timur. Perpindahan itu diduga lantaran tanah dianggap kehilangan tuahnya karena perang atau bencana.