Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita-cerita dalam Kaleng Bekas

Kompas.com - 13/03/2012, 19:21 WIB

KOMPAS.com - Di dalam sebuah rak kaca terjebak seorang perempuan Amerika mengenakan bikini. Sepintas tak ada yang istimewa. Bagi Cecilia Maharani (33), gambar perempuan yang menempel di dinding sebuah kaleng berdiameter 15 sentimeter dan tinggi 10 sentimeter itu seperti bercerita. Pada bagian lainnya tertera angka tahun 1970-an. Itulah masa ketika Amerika ”dikuasai” kaum ”hippies”.

Menurut Cecil, produk-produk ekonomi, seperti kaleng bekas wadah permen, tetap bisa menjadi penanda bentangan sejarah sosial yang pernah terjadi di suatu tempat. Cara melihat seperti inilah yang membuat kaleng-kaleng bekas koleksi Cecil menjadi istimewa. Ia bukan lagi sekadar wadah bekas yang kalau di jalanan mungkin akan berubah peran menjadi bola kaki. Di rumahnya di Yogyakarta, sejak lima tahun lalu, Cecil mengoleksi sekitar 50 kaleng bekas tetapi istimewa.

Direktur Yayasan Kampung Halaman, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memberdayakan peran remaja ini, seakan bersaing dengan sesama ”pemburu” kaleng bekas. Dian Herdiany, rekannya di Yayasan Kampung Halaman, juga mulai mengoleksi kaleng bekas sekitar lima tahun lalu. Bedanya, Dian lebih mengkhususkan diri mengoleksi kaleng-kaleng yang lebih baru. ”Tidak harus kaleng tua seperti Cecil, yang baru juga enggak apa-apa, asalkan dia memiliki keunikan. Dan sudah tidak hanya soal estetika, tetapi memberi kabar tentang sesuatu,” ujar Dian.

Cerita Cecil, kaleng-kaleng bekas dengan kisah sosial seperti flower generation, sebuah gerakan kebebasan tahun 1970-an yang berembus dari Amerika Serikat, seperti memiliki kekuatan ”magis”. Tidak saja soal penemuannya yang kadang unik, tetapi juga beberapa hari setelahnya Cecil bisa memperlakukannya bak boneka. ”Saya selalu membawanya sampai ke tempat tidur, ha-ha-ha, jadi malu nih,” tuturnya.

Perilaku itu tidak jarang kemudian mengundang teguran dari penghuni rumah lainnya. ”Ipar saya suka menegur, ’tuh nikmati kaleng bekas itu sampai lupa makan’, he-he-he,” tambah Cecil.

Akulturasi
Koleksi lain Cecil berupa sebuah kaleng bertuliskan ”Tjokelat” yang ia dapat dari pedagang di Pasar Klithikan Yogyakarta. Pada satu sisinya bertuliskan ”Tjokelat buatan NV Amsterdam”, lalu di bagian lainnya terdapat gambar perempuan Jawa lengkap dengan selendang dan kemben seperti sedang menari. Keistimewaan lainnya, gambar dan huruf-hurufnya timbul seperti sebuah relief. ”Ini kira-kira diproduksi di masa kolonialisme,” kata Cecil.

Jika melihat ejaan yang digunakan, kata Cecil, kemungkinan besar diproduksi tahun 1950-an. ”Menariknya pada masa itu sebagian produk-produk ekonomi menandakan terjadinya akulturasi antara budaya Belanda dan lokal, dalam hal ini Jawa,” ujar Cecil.

Koleksi terbesar Dian adalah sebuah kaleng berdiameter sekitar 20 cm yang diperkirakan berasal dari Inggris. Di dinding kaleng tergambar seseorang sedang menelepon di telepon umum dengan latar belakang gedung-gedung tua di kota London. ”Itu kan bercerita banget. Bisa jadi penanda masa telepon umum di suatu kota,” kata Dian tentang kaleng bekas wadah cokelat itu.

Menurut dia, ada beberapa hal yang membuatnya memutuskan mengoleksi sebuah kaleng. ”Sudah pasti estetikanya, terutama menyangkut desain gambarnya. Kemudian bentuknya kadang unik, dan kemudian tahun pembuatannya,” kata Dian. Di rumahnya di Yogyakarta, setidaknya terdapat 50-an lebih kaleng yang ia dapat dari berbagai tempat. ”Kalau saya lagi melawat ke sebuah kota, suka menelisik ke toko-toko tua, tujuannya ya cari kaleng. Ha-ha-ha,” tambahnya.

Pernah di satu toko di Tasikmalaya, Jawa Barat, Dian membeli 30 kaleng buatan China dengan harga serba Rp 6.000. ”Kaleng ini istimewa karena memakai huruf-huruf China dengan gambar seri kartun yang unik,” kata Dian. Sejak itu Dian rajin mengunnjungi toko-toko China di kota-kota kecil, seperti Cirebon, Indramayu, dan Madiun, demi sebuah kaleng.

Mengoleksi kaleng, kata Dian, bukan hobi yang mahal. Selain pemeliharaannya yang mudah, harga kaleng bekas koleksinya paling mahal sekitar Rp 30.000. Bahkan terkadang didapat dari oleh-oleh teman atau saling tukar di antara sesama kolektor. Ia sering bertukar kaleng dengan Cecil atau Prima Rusdi (penulis skenario film) yang juga pengoleksi kaleng bekas.

Kalau ada istilah surat kaleng yang berkesan menakutkan karena mengandung unsur fitnah, orang-orang seperti Cecil, Dian, dan Prima malah berbalik memburunya. Siapa tahu dalam cerita-cerita itu bisa direkonstruksi sejarah sosial yang pernah terjadi di muka bumi ini. Jadi istimewa, bukan?

(Putu Fajar Arcana/Thomas Pudjo Widijant/Aloysius Budi Kurniawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com