Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mangkutana, Tempat Singgah Turis Asing

Kompas.com - 17/03/2012, 10:50 WIB

KOMPAS.com - Kami tinggalkan warung tempat menginap di pinggiran Mangkutana sekitar pukul 08.00. Hari Jumat (9/3/2012) kami menghadapi tanjakan berat. Di peta terbaca, rute Mangkutana-Pendolo sepanjang 87 km bakal melintasi pegunungan. Pada 51 kilometer pertama kami akan mendaki dari ketinggian 35 meter ke 1.300 meter.

Mangkutana, kota kecil di kaki Gunung Balease itu masih menggeliat saat kami melintas. Toko-toko baru buka, anak-anak berangkat ke sekolah. Warga melambaikan tangan dan memanggil-manggil kami, "Hello mister, hello how are you!"

Sebagai salah satu tujuan wisata di dekat perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, kota kecil berhawa sejuk ini sudah lama menjadi tempat singgah turis asing. Mereka umumnya singgah dalam perjalanan dari Toraja menuju Tentena yang terletak di tepi Danau Poso. Perjalanan itu melewati sejumlah cagar alam dan air terjun di pegunungan yang terjaga keasriannya.

Nah, sebelum memasuki kawasan pegunungan, para turis biasanya transit di Mangkutana. Sempat kami temui beberapa backpacker melintas di jalur ini menggunakan angkutan umum lintas provinsi yang disini disebut 'Panther'. Kebanyakan angkutan umum jarak jauh disini memang menggunakan minibus merk itu.

Selepas Mangkutana jalan mulai menanjak di kilometer 13. Kami memasuki desa Kasintuwu tempat bermukim warga asli suku Pamona. Jalan lalu berkelok-kelok menyusuri Sungai Kalaena, membelah lembah besar diantara dua pegunungan.

Semakin tinggi mendaki, suguhan pemandangan alam pegunungan semakin indah. Lembah besar Kalaena di sebelah kanan dan lereng Gunung Balease di kiri. Perkebunan kakao dan aneka buah seperti durian, langsat, rambutan berganti menjadi hutan lebat nan sunyi.

Satu-dua kendaraan melintas setiap tiga hingga lima menit. Intervalnya semakin lama, semakin tinggi kami mendaki.

Suasana sunyi dan teduh. Serangga hutan bersahutan menyambut kami di  kawasan Cagar Alam Kalaena. Di beberapa tempat, kera hitam Macaca fascicularis mengintip di atas pohon sambil mengeluarkan bunyi-bunyian seperti mendengus.

Panas terik mulai menyengat saat kami melahap tanjakan demi tanjakan yang berkelok dengan gradien bervariasi 25-30 derajat. Sebenarnya ini masih cukup landai, cuma panjang dan dengan beban 15 kg terasa menguras tenaga.

Peluh  mengucur deras saat kami terus memutar pedal dengan kombinasi gir yang paling ringan. Kucuran keringat mulai jatuh membasahi tubing sepeda.

Tanpa terasa sudah 30 km kami mendaki.  Pukul 11.00, saat memasuki Cagar Alam Faruhumpenai kami istirahat di hutan dan memasak teh manis.

Pemandangan luar biasa indah. Deretan puncak gunung yang membiru di kiri-kanan diselimuti awan. Guratan lembah dan punggungannya menghijau tertutup hutan lebat.

Di beberapa titik sepanjang jalan terdapat poster yang mengindikasikan adanya konflik perebutan tanah adat Suku Pamona. Di Jakarta, teman-teman aktivis masyarakat adat mengatakan, persoalan tanah adat memang menjadi isu penting di kawasan Sulsel-Sulteng.

Mahir Takaka, tokoh warga menyatakan, pihaknya masih memperjuangkan hak ulayat warga setempat. Di banyak tempat, tanah itu dikonversi menjadi perkebunan sawit dan sebagainya.

Tidak sepenuhnya keasrian hutan di kawasan ini terjaga. Saya perhatikan Sungai Kalaena alirannya melebar sekitar 30-40 meter dan airnya coklat keruh. Kondisinya berbeda sekali dengan tahun 1994, saat teman-teman Mahitala Unpar mengarunginya dengan perahu karet. Saat itu aliran sungai jernih kehijauan. Erosi dan mungkin kerusakan hutan daerah hulu membuat sungai jadi keruh dan melebar.

Setelah 30 km mendaki hingga ketinggian 610 meter, jalan lalu menurun mengikuti kontur sepanjang 5 kilometer hingga ketinggian 500 meter. Jalan  melintas jembatan hulu Sungai Salonua yang airnya menggelegak menurui bebatuan dari atas lereng tinggi.

Jalan kembali menanjak sepanjang 29 km sampai ke batas provinsi lalu menurun tajam. Yang disebut batas berupa monumen dan gapura besar. Ada beberapa warung di sekitarnya.

Kami meluncur turun sepanjang 10 kilometer sampai bertemu antrean kendaraan sepanjang dua kilometer. Rupanya jalan terputus oleh longsor.

Badan jalan hilang sepanjang 20 meter. Kami terpaksa membongkar pannier dan memanggul sepeda melintasi material longsoran berupa lumpur tanah liat dan bebatuan.

Sudah sepuluh hari jalur poros Trans Sulawesi itu terputus. Upaya perbaikan dengan memasang jembatan darurat sudah dua kali dilakukan, namun tanah kembali longsor menghancurkan jembatan.  Kendaraan menuju Makassar atau Palu terpaksa memutar melalui Soroako. Truk-truk pengangkut sayur dan buah-buahan yang terjebak di antrean, terpaksa membiarkan muatannya membusuk.

Satu persatu sepeda kami seberangkan dengan penuh perjuangan. Pukul 18.00 kami lanjutkan perjalanan  ke Pendolo yang masih 19 km. Hujan deras turun. Badan letih, basah kedinginan, dan kelaparan. Tapi kami terus maju sampai ke Pendolo.

Pendolo

Jalan gelap gulita dan ribuan kunang-kunang menyambut kami di Pendolo, kota kecamatan di tepian Danau Poso. Pusat kota berupa persimpangan jalan. Arah jalan yang mengitari danau sama-sama menuju Tentena sepanjang 80 km.

Untuk pesepeda, jalur terbaik melalui jalan yang menyusuri tepian barat danau ata ke kiri. Selain lebih landai, sepi kendaraan,  ada beberapa titik untuk menikmati pemandangan danau dari ketinggian. Sedangkan jalur timur lebih jauh dan berbukit.

Bu Sherly, pemilik penginapan Victory di tepi danau mengatakan, sampai akhir tahun 2001, Pendolo sangat hidup. Pelabuhan kecil dekat rumah ramai oleh lalu lalang kapal membawa turis asing dari Tentena.

Turis lokal berdatangan menikmati danau dan masakan khas seperti ikan mas kuah asam dan sogili. Yang terakhir disebut adalah belut raksasa endemik danau yang beratnya bisa mencapai 11 kg per ekor. Masakan belut yang harganya mencapai Rp 90.000 per kg itu selain sedap, dipercaya bisa menurunkan kolesterol. Sayang, kami tak bisa mencicipi karena saat ini belum musim panen belut. Baru akhir April banyak belut di danau.

"Kalau naik kapal dari Tentena hanya dua jam. Banyak juga turis yang naik sepeda dari Mangkutana atau Tentena. Mereka kemari untuk berenang di danau," tuturnya.

Kerusuhan Poso 2001 menghancurkan semuanya. Warga Pendolo sempat mengungsi. Kehidupan mereka terampas. Banyak kapal dibakar dan akhirnya tidak ada lagi yang lalu lalang di danau, seiring dengan menghilangnya turis. Pelabuhan sepi dan suasana kota jadi lesu. Meski sebenarnya sebelum kerusuhan pun kapal sudah sepi penumpang dengan dibangunnya jalan alternatif mengelilingi danau.

Sejak lima tahun terakhir warga Pendolo berusaha bangkit.

"Sekarang sudah mulai ada lagi turis,meskipun belum seramai dulu. Sarana sudah mulai diperbaiki," tutur Fandy, warga yang membuka warung makan di pojok persimpangan.

Listrik di Pendolo hanya mengalir pukul 18.00 sampai 24.00. Lampu penerangan jalan belum ada. Angkutan umum ke Tentena melalui jalur barat hanya sekali sehari dengan tarif Rp 30.000. Dari jalur timur dua kali sehari dengan tarif sama. Begitu pula  sarana lain seperti wartel atau warnet juga belum  ada. Di tengah semua kesulitan itu, warga Pendolo tetap berusaha mengembalikan geliatnya sebagai tujuan wisata di tepi Danau Poso. (Max Agung Pribadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com