Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Mengeluh untuk Menarik Simpati

Kompas.com - 14/05/2012, 13:38 WIB

KOMPAS.com - Kita berduka saat mengetahui Menteri Kesehatan, ibu Endang Rahayu Sedyaningsih, tutup usia beberapa waktu lalu. Melalui media, kita mendapat informasi bahwa beliau mengalami kanker paru stadium 4 yang baru diketahui beberapa bulan yang lalu. Di tengah suasana berduka, beredar luas pesan terakhir beliau yang sangat membangkitkan motivasi: “Bagi rekan-rekanku sesama penderita kanker dan para survivor, mari kita berbaik sangka kepada Allah. Kita terima semua anugerahNya dengan bersyukur.”

Tampak jelas tidak sekalipun ada tanda atau keinginan mengeluh atas gangguan kesehatan yang dialaminya, padahal beliau mengalami gangguan kesehatan yang biasa dialami para perokok, meskipun ia sendiri tidak merokok. Sebaliknya, yang nampak justru rasa syukur yang kuat atas semua hal-hal positif yang ada di sekitarnya.

Kemampuan untuk bersyukur dan melihat sisi positif dalam berbagai situasi adalah hal yang penting, namun kita bisa melihat bahwa hal yang marak berkembang di masyarakat malah sebaliknya. Dalam berbagai situasi, kita begitu mudah berkeluh kesah berkepanjangan dengan berbagai situasi yang kita hadapi. Di dunia politik, kita semakin sering menyaksikan para politikus mengeluh atau curhat di media massa, betapa dirinya dizalimi dan diserang lawan politiknya. Apakah memang tindakan tidak etis dalam bisnis dan berpolitik begitu dominan, sehingga kita sering merasa tidak mempunyai kontrol terhadap faktor eksternal? Atau, sadar tidak sadar, kita melakukan tindakan manipulatif, yaitu berkeluh kesah untuk merangsang belas kasihan, mendapatkan perhatian, bahkan mendapatkan “power”?

Namun, bukankah cara seperti itu, bagaimana pun juga kurang menarik dan tidak simpatik? Bila kita, tidak mau terlihat cengeng, kita tentu harus berhenti menggunakan kelemahan kita maupun kelemahan situasi, untuk menarik simpati orang lain. Bila sebagai public figure atau pemimpin, kita tidak mau kehilangan “follower”, kita tentu harus punya strategi lain yang tidak cengeng.

Beraksi, bukan bereaksi
Semua pasti setuju ungkapan: ”If the dog bites you, don't bite the dog back”. Kenyataannya, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dipraktekkan, apalagi kalau kita sudah bertubi-tubi mendapatkan cercaan yang belum tentu benar tidaknya. Namun, apakah reaksi bela diri itu akan bermanfaat bagi kita?

Seorang teman yang juga mengalami banyak tekanan, kesulitan dan persaingan, nampak kuat karena ternyata selalu memegang prinsip bahwa semua kritik, tekanan,  dan hambatan yang dialaminya adalah kesempatan untuk maju. Ia berkomentar: “Hindari ‘demoralizing’, jangan biarkan diri kita sakit hati dan bermental kecut”. 

Ya, kitalah yang menentukan apakah kita melihat situasi dengan masam atau tetap netral, seberat apapun tekanannya. Dari teman ini, saya juga belajar bahwa hal yang pasti harus dilakukan adalah mengenali dan menahan reaksi yang muncul ketika tekanan datang. Kita perlu berusaha mencerna dan menahan, sebelum memberi respons mental yang negatif. Rasa sakit hati, tersinggung, dan kehendak untuk membela diri yang biasa muncul, perlu kita kenali dan kita dekati untuk menjaga mental positif.

Kita pasti sudah membuktikan bahwa reaksi impulsif kita justru akan membawa situasi yang lebih buruk. Banyak orang belum meyakini bahwa dengan menyeleksi  tindakan dan reaksi yang kita keluarkan dengan saringan positif, kita mungkin saja melakukan manuver untuk mencapai tujuan kita.

Daripada mengatakan, “Saya sakit, jadi tidak bisa berolah raga”, kita sebetulnya lebih baik mengatakan bahwa kita ingin beristirahat sejenak.

Daripada mengeluhkan “Pekerjaan saya membosankan”, kita lebih baik mengatakan bahwa kita sedang mengevaluasi hal yang penting dalam pekerjaan kita. Dan bila merasa perlu nilai tambah dari tempat lain, kita bisa mengatakan saatnya menemukan pekerjaan lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com