Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggie Moeis, Tak Ingin Berhenti Menari

Kompas.com - 12/06/2012, 11:14 WIB

”Papa bertanya, ’Kamu mau menjadi penari atau penata tari?’ Saya menjawab, ingin menjadi penata tari. Lalu mama bertanya, ’Kamu tahu kalau menjadi penari itu tidak bakal mungkin menjadi orang kaya?’ Iya, enggak papa. Kata mereka, uang itu mengikuti. Kalau kita serius, pasti rezeki akan datang,” kata Anggie meyakinkan.

Anggie menyebut dirinya obsesif, tak bisa berhenti dari segala hal yang menarik minatnya. ”Main game misalnya, kalau ada 36 level permainan, saya tidak bisa berhenti sebelum menyelesaikan semua level. Menonton film seri, juga sekali tonton harus tamat. Bisa begadang sampai jam 10.00, mata sampai pedas. Menari pun begitu, terus mencari dan tidak bisa berhenti. Menari itu adiktif lho,” ujar Anggie.

Mencari diri
Nyatanya, sulung dari dua bersaudara itu memang berjodoh dengan dunia tari. Anggie sudah mencicipi sendiri, dunia tari tak lagi sepi rezeki. Menari membuatnya mengenal banyak hal, mengenal Papua, Jawa, Minangkabau.

Gara-gara menari pula, Anggie melancong ke Padang, Padang Panjang di Sumatera Barat, pergi ke Pekanbaru di Riau, wira-wiri ke Singapura, Johor, Seoul, juga Brisbane. Benua biru pun ia jelajahi lewat berbagai pementasan tari di Hamburg, Berlin, Amsterdam, dan Praha.

”Tahun 2010, ikut menarikan karya Jecko Siompo, ”Terima Kos”, di Kampnagel Theater, Hamburg. Tiga hari pertunjukan, tiket selalu sold out. Setiap habis pertunjukan, penonton berdiri dan memberikan tepuk tangan sangat lama, sampai kami harus tiga kali keluar panggung memberikan salam kepada penonton. Mereka tidak mengenal kami, tetapi sangat menghargai tari karya Jecko. Itu berarti sekali untuk kami,” kata Anggie.

Tari pula yang membuat Anggie gelisah akan jati dirinya. Menurut dia, menari selalu membuat orang menyelami akar tradisi masing-masing.

”Semua teman-temanku punya akar tradisi yang kuat. Mereka yang besar dalam tradisi Minangkabau misalnya, punya pengalaman hidup sebagai orang Minang. Teman-teman dari Jawa, memiliki rasa hidup sebagai orang Jawa, sangat kaya pemikiran. Teman saya dari Papua bisa panjang lebar bertutur tentang Papua. Lalu, saya apa? Kadang saya iri dengan mereka, kebingungan mencari-cari apa dan siapa diri saya,” kata Anggie.

Hingga hidupnya terlontar ke Belanda, mengikuti Amsterdam Dance Center and Henny Jurriens Foundation selama tiga bulan. Kelas itu diikuti 50 penari dari berbagai negara di Eropa. Semua orang mengenali Anggie sebagai penari Asia.

”Semua bahasa tubuh saya sangat berbeda, sangat Asia. Saya menemukan jati diri saya adalah apa yang melekat pada diri saya. Itu pengalaman yang sangat berarti. Saya orang Jakarta, tradisi saya ya tradisi Jakarta, benar-benar orang urban,” ujar Anggie.

Jakarta disebutnya kota membuat orang hidup dari satu kotak ke kotak berikutnya. Dari kamar, masuk mobil, ke gedung pertunjukan ke mal. Tiap hari liburnya akan ia habiskan di rumah saja. ”Rasanya pengen tinggal di desa mana gitu, tapi nanti aku malah stres kalau tidak ada mal,” katanya tertawa. Ya, apa pun Jakarta adalah kampung halamannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com