Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggie Moeis, Tak Ingin Berhenti Menari

Kompas.com - 12/06/2012, 11:14 WIB

KOMPAS.com - Sepekan terakhir ini, Andara Firman Moeis (26), begitu nama lengkapnya, super sibuk gara-gara didapuk menjadi juru bicara perhelatan 11th Indonesian Dance Festival 2012. Sejak bulan lalu, namanya bermunculan di media, keluar masuk konferensi pers, bertanya jawab.

”Itu dijebak, ha-ha-ha,” kata Anggie, sapaan dara kelahiran Jakarta, 20 Januari 1986 itu. ”Aku awalnya bingung mau bicara apa. Kan, aku terbiasa bicara bahasa gaul, tiba-tiba harus hadir dalam acara resmi seperti itu,” katanya.

Jumat (8/6/2012) sore, Anggie sibuk melatih para penarinya, gara-gara ditodong harus menampilkan karyanya dalam sebuah acara bincang-bincang televisi yang membahas Indonesian Dance Festival (IDF), Sabtu pagi. Semua serba mendadak itu melengkapi siklus hidupnya selama penyelenggaraan IDF, 1 – 9 Juni 2012.

Kesibukannya mengajar di Gigi Art of Dance dan murid-murid kesayangannya ia tinggalkan sementara. Juga cakram DVD, dan game permainan komputer yang selalu membuatnya betah berlama-lama di belakang komputer atau mengutak-atik gadget.

Kamis malam, ia terserang flu hingga absen menonton pementasan IDF. Jumat sore, batuk dan pilek belum lagi pergi, namun perempuan berdarah Minangkabau dan Sunda itu hadir dengan keceriaannya.

”Tapi ada yang kacau,” Anggie membocorkan rahasianya. ”Akhir Mei lalu, engkel kiriku cedera, dan aku harus berhenti menari, istirahat. Eh, mengurusi IDF malah membuat aku jadi sering makan nasi di larut malam. Umur memang tidak bisa berbohong ya, ha-ha-ha. Gara-gara berhenti menari dua pekan, juga bersantap nasi di larut malam, berat badanku bertambah 4 kg,” ujar Anggie.

Ia ”mengeluh” dengan wajah berhias senyum. Merasa mulai berumur, namun mata coklatnya berbinar seceria kanak-kanak. ”Enggak papa deh, yang penting bahagia,” ujarnya tertawa.

Terus, terus, dan terus
Tahun 2000, Anggie, satu dari banyak remaja SMA yang diterjang demam menari. Padahal, terakhir kali ia menari ketika menarikan saman di taman kanak-kanak.

”Waktu SD dan SMP, dunia tari itu sesuatu yang jauh. Padahal, aku berdarah Minangkabau. Meskipun tidak menjadi penari, setiap perempuan Minangkabau pasti pernah menarikan persembahan atau tarian piring. Nyatanya, aku memang tidak pernah menari. Sampai saat SMA aku bertemu dengan teman-teman yang senang menarikan modern dance. Kami manggung di mana-mana. Tahun 2003, lulus SMA, dua temanku mengajak kuliah tari di Lasalle College of the Art, Singapura,” tutur Anggie.

Anggie ragu, merasa tak cukup punya pemahaman tari tradisi Nusantara. Ia lantas memilih berkuliah tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kedua orangtuanya, papanya seorang bankir dan mamanya seorang pekerja industri periklanan, sempat bertanya keseriusan Anggie memilih kuliah tari di IKJ.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com