Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/08/2012, 16:28 WIB

KOMPAS.com - Vinna mengenal etos kerja sejak belia, saat ia bekerja sebagai pramuniaga toko di Singapura kala libur sekolah. Ia belajar dari desainer kelas dunia di Paris ketika ia jadi model. Dengan semangat itu, Vinna membangun bisnis sendiri.

Vinna Novetri kini mengelola Qyvision PR, perusahaan agensi kehumasan yang ia bangun bersama sahabatnya. Di luar lingkup perusahaan itu, ia juga merintis produksi tas berbahan kulit piton Indonesia bermerek Kanan yang kini mulai menembus pasar Amerika Serikat.

Bagi Vinna, bisnis dan fashion adalah dua hal yang sanggup membuatnya bekerja keras, tujuh hari seminggu kalau perlu. Itu karena perempuan berdarah Bugis ini mencintai apa yang ia kerjakan. Baginya, fashion adalah representasi keindahan warna, bentuk, dan rasa. Di situ pula ada keajaiban daya kreasi manusia.

Bisnis yang kini ia bangun menjadi muara dari kecintaan dan pengalaman menggeluti karier yang membuahkan jaringan. ”Modal penting buat bisnis ini adalah jaringan,” ujarnya.

Perjalanan Vinna membentuk etos kerja dan jaringan itu ia mulai sejak belia. Pelajaran pertama tentang kemandirian didapat Vinna pada usia sembilan tahun ketika orangtuanya mengirimnya ke Singapura—bergabung dengan dua kakaknya—dan menamatkan sekolah di sana.

”Waktu itu, meski masih kecil, saya sudah mikir kalau pengen jajan atau beli keperluan sehari-hari karena uang saku ketat. Mesti nunggu Ibu datang menjenguk sebulan sekali,” ujarnya.

Menginjak usia 12 tahun, Vinna tinggal sendiri di Singapura karena kedua kakaknya pindah untuk melanjutkan kuliah di Indonesia dan Swiss. Pada usia 14 tahun, Vinna mulai menemukan keasyikan mencari uang saku tambahan dengan bekerja saat liburan.

”Aku kerja di butik jadi pramuniaga. Dari situ aku ngerti, ada pekerjaan-pekerjaan sederhana dan menghasilkan uang,” ujar perempuan bertubuh tinggi dan ramping ini.

Saat usianya beranjak 15 tahun, agensi model di Singapura ”menemukan” Vinna. Wajah remaja Vinna yang unik dengan mata dalam dan tulang pipi tinggi, menghiasi majalah-majalah seperti Go Magazine dan Her World pada era awal 1990-an.

Ia juga menjadi model iklan, termasuk untuk iklan wisata Indonesia yang ketika itu ditayangkan di jaringan televisi CNN. Pengalaman baru, melihat wajahnya disulap mengesankan di halaman majalah atau iklan TV, sekaligus mengantongi uang hasil kerja sendiri, membuat Vinna jatuh hati pada dunia model.

”Ternyata mau jadi waitress atau model itu semua kerja keras,” ujarnya.

Pemalu
Tamat SMA, Vinna melanjutkan kuliah bisnis di Sydney, Australia. Ia masih melanjutkan karier sebagai model di ”negeri kanguru” itu. Ia berusaha pemotretan tidak mengganggu kuliah. Meski demikian, ”godaan” untuk meninggalkan bangku kuliah kerap datang. Satu-satunya yang sempat tak kuasa ia tampik adalah tawaran menjadi VJ (video jockey) MTV Asia yang pada 1996 itu baru membuka kantor distribusi program di Singapura. Ia pun cuti tiga bulan dari kampus untuk menggarap pekerjaan itu di Singapura.

Memandu acara ”MTV Most Wanted” yang saat itu digandrungi remaja seantero Asia bukan sekadar pengalaman baru bagi Vinna, tetapi juga tantangan baru. ”Jadi model dan presenter itu beda banget, apalagi harus wawancara artis-artis kayak Michael Learns to Rock dan M2M waktu mereka datang ke Singapura. Masalahnya, aku tuh sebetulnya pemalu banget.”

Sifat pemalu itu rupanya masih tersisa sampai saat ini. Ia terkesan rikuh ketika menghadapi kamera. Vinna butuh ”pemanasan” sebelum akhirnya ia bisa lebih rileks diberondong jepretan kamera. ”Aduh, kan jadi modelnya sudah lama, sudah lupa,” ujarnya, sambil tertawa.

Kembali ke masa remaja itu, meski girang dengan pengalaman mencicipi dunia VJ, Vinna memutuskan tak memperpanjang kontrak. Ia memilih kembali ke Australia untuk merampungkan kuliah. Menyelesaikan studi menjadi komitmen yang ia janjikan pada orangtua.

Selain itu, mulai tebersit di benak Vinna, jiwanya bukan ”berumah” di dunia hiburan. ”Saat ambil kuliah bisnis, aku sudah berpikir, suatu saat aku harus punya bisnis sendiri.”

Begitu tamat kuliah dan kembali ke Indonesia, Vinna mendapat posisi sebagai manajer pemasaran di Bira Fund Management. Ia sempat merasa, memang di situlah jalannya membangun masa depan. ”Waktu itu terpikir, this is what I want to be.”

Kerja keras
Sayangnya, karier di sektor keuangan itu hanya berumur beberapa bulan karena Indonesia diguncang krisis moneter. Vinna pun kembali menjadi model, kali ini di negeri sendiri. Tak sekadar berpose di depan kamera, ia juga menulis dan menjadi kontributor untuk majalah mode. Pengalaman itu yang membuatnya terbang ke Paris dan New York untuk meliput pekan-pekan peragaan busana.

Desainer kondang Diane von Furstenberg adalah salah satu narasumber yang pernah memberinya kesan mendalam. ”Ia menunjukkan pada saya, fashion dan modelling memang dunia glamor, tetapi di balik itu ada kerja keras yang mesti dilakukan dengan hati.”

Masih dengan benang merah kecintaan pada dunia mode, Vinna kemudian berkarier di Brianstone Jewelry dan Club 21 Papillon. Selain berkait fashion, titian karier ini memperkenalkan tantangan baru pada Vinna, yakni bisnis ritel. Sekali lagi, ia menemukan hatinya bergelora dengan semangat.

Menyiapkan butik baru, perjalanan ke luar negeri untuk bertemu pembeli dan pemegang merek selalu ia nikmati. Hingga kemudian ia menyadari, waktu sehari-hari yang tersisa untuk menjadi ibu bagi putranya amatlah terbatas. ”Saya sering pulang malam, kadang bahkan saat akhir pekan. Akhirnya, saya berpikir, sudah waktunya saya harus punya usaha sendiri,” kata ibu dua anak ini.

Pada titik itulah Vinna mengerahkan kecintaan dan jaringannya di dunia bisnis dan fashion untuk melapangkan jalan membangun Qyvision PR. Berkat jaringan pula, tas kulit ular bermerek Kanan yang ia produksi kini menembus Amerika Serikat sebagai target pasar pertama.

Lewat perjalanan panjang, Vinna terus merajut mimpi-mimpinya.

Susahnya nambah berat badan...
Postur Vinna yang begitu ramping—kalau tak mau disebut kurus—membuat ia makin terkesan tinggi semampai. Padahal, Vinna menyebut dirinya sebagai penikmat kuliner. Masalahnya, dengan hobi menikmati kuliner pun, ia kesulitan menambah berat badan.

”Selama bulan puasa ini, kebanyakan orang makan dua kali berbuka dan sahur. Saya makan tiga kali lho supaya nambah berat badan maksudnya, tetapi susah!” kata Vinna.

Ibu tunggal dengan dua anak ini bukan hanya rajin menikmati aneka makanan. Ia juga tekun mempelajari bahan-bahan makanan yang sehat untuk diolah dan memuaskan keasyikannya memasak. Penggemar tempe—tetapi tidak suka makan tahu—ini memilih bahan makanan organik untuk ia olah di rumah.

”Saya juga sudah enggak makan daging merah dan ayam, tetapi masih makan ikan,” ujar perempuan yang sedang gemar olahraga berkuda ini.

Di rumah, Vinna paling sering menyantap lalapan sayur, sambal, dan olahan ikan air tawar. Kebiasaan makan sayur sudah ia ditularkan pada kedua buah hatinya, Oliver (8) dan Olstin (3), sejak mereka masih bayi. ”Waktu anak-anak masih kecil, makanan yang saya haluskan terutama sayuran, bukan buah-buahan. Buah kan manis, lebih gampang dikenalkan belakangan ke anak-anak.”

Meski demikian, ia juga memasakkan steak dan burger untuk anak-anaknya. ”Lebih baik makan masakan sendiri di rumah daripada mereka minta dibelikan di luar,” kata Vinna, yang sempat memilih berhenti kerja demi konsentrasi mengasuh bayinya seusai melahirkan ini.

(Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com