Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/10/2012, 09:45 WIB

KOMPAS.com - Anda mungkin sudah paham dengan istilah high risk, high return. Namun, apakah situasi seperti itu pernah Anda alami sendiri? Apakah setiap kegagalan investasi selalu dikarenakan oleh risiko tinggi dalam jenis investasi?

Faktanya tidak selalu demikian. Cukup banyak investor yang memilih investasi berisiko tinggi, tetapi investasinya baik-baik saja dan tentunya mendulang hasil besar. Namun, di sisi lain, ada juga investor yang kendati pilihan investasinya berisiko rendah, dia mengalami kegagalan. Mengapa bisa seperti itu? Karena banyak investor hanya mencermati investasi dari sisi permukaan.

Menilik risiko investasi tidak cukup hanya dari permukaan. Itu baru sekadar risiko berdasarkan kategori jenis instrumen investasi. Padahal, yang jauh lebih penting adalah memahami risiko tersebut secara lebih dalam. Sebut saja, penafsiran tentang investasi berisiko rendah semacam penempatan dana di bank.

Apakah memang demikian adanya? Tidak selalu begitu. Mengapa? Karena setiap bank dikelola oleh orang-orang yang berbeda. Ada manajemen bank yang memang memiliki kompetensi dan integritas tidak diragukan sehingga pengelolaan dana masyarakat dilakukan dengan hati-hati. Namun, tidak sedikit pengelolaan bank dilakukan secara sembrono.

Di sisi lain, investasi di pasar modal, khususnya saham, dianggap berisiko sangat tinggi. Hakikatnya memang demikian karena ada faktor yang bisa dikontrol dan ada juga faktor yang tidak bisa dikontrol yang dapat memengaruhi pergerakan harga saham. Misalnya, perubahan ekonomi dunia yang memburuk atau persoalan di industri masing-masing saham. Namun, bagi kalangan tertentu yang memiliki wawasan luas dan kemampuan menganalisis, hal-hal yang sebenarnya bersifat tidak bisa dikontrol bisa diperkirakan sehingga bisa dilakukan tindakan-tindakan dini mengantisipasi hal tersebut.

Memahami risiko
Singkatnya, risiko investasi semestinya ditelaah lebih dalam dan kemudian setiap investor mengambil sikap atas risiko tersebut. Bagaimana konkretnya?

Pertama, setiap investor sebaiknya memahami terlebih dahulu profil risiko. Artinya, tahu kadar kemampuan diri untuk menanggung risiko. Dengan kata lain, jika risiko terburuk terjadi pada investasi yang dilakukan, hidup si investor tidak akan susah. Tidak akan menyesal berkepanjangan karena risiko tersebut sudah diperhitungkan dan memiliki kekuatan mental untuk menerimanya. Dalam hal ini termasuk seberapa besar dampak finansial yang bisa ditanggung. Atau berapa besar kesanggupan diri untuk menerima kerugian dari investasi yang dijalani.

Sebagai misal, kalau Anda berinvestasi sebesar Rp 100 juta di saham, secara pribadi Anda masih mampu menanggung kerugian sebesar 25 persen. Ini berarti kalau nilai saham yang Anda beli mengalami penurunan sampai 25 persen, Anda mesti melakukan cut loss alias jual rugi atau menambah lagi investasi Anda di saham tersebut sehingga nilai potensi ruginya menjadi lebih kecil. Jadi, banyak pilihan dalam mengupayakan pengurangan nilai potensi kerugian, tergantung keyakinan Anda akan prospek saham tersebut.

Kedua, memahami jenis risiko secara komprehensif. Risiko investasi pada dasarnya bisa dipilah menjadi berbagai jenis, seperti risiko perubahan tingkat bunga, risiko perubahan nilai tukar, risiko likuiditas, risiko hukum, dan lainnya.

Perihal risiko suku bunga, misalnya, kita tahu bahwa di Indonesia ada yang disebut SBI rate, yakni tingkat bunga acuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Tingkat bunga ini akan menjadi referensi bagi perbankan untuk menentukan tingkat bunga deposito dan juga tingkat bunga pinjaman. Kalau tingkat bunga naik atau diperkirakan akan meningkat, itu berarti di pasar keuangan, likuiditas akan mulai ketat. Itu juga merupakan sinyal bahwa ekonomi mulai ”panas”.

Di sisi lain, kenaikan tingkat bunga tersebut akan memberi pengaruh terhadap dunia usaha. Pinjaman dari perbankan akan semakin mahal harganya. Konsekuensinya, biaya produksi akan meningkat. Ini akan berdampak pada harga barang, dan atau di sisi lain, keuntungan perusahaan akan menurun. Demikian seterusnya, saling berkait, hingga pada gilirannya akan memberi imbas pada harga saham.

Contoh yang lain adalah risiko perubahan nilai tukar, yaitu ketika dollar AS semakin mahal yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai tukar dollar AS dibandingkan dengan rupiah. Misalnya, sebulan lalu, 1 dollar setara dengan Rp 9.400. Bulan ini, nilai tukar tersebut berubah menjadi, misalnya, 1 dollar AS sama dengan Rp 9.600. Ini berarti harga dollar AS semakin mahal. Apa sebab dan apa dampaknya? Banyak. Salah satu sebab, misalnya para penanam modal di Indonesia melepas investasi dan menukarnya dengan dollar AS sehingga dollar AS diburu dan harganya meningkat.

Atau, Indonesia banyak melakukan impor yang membutuhkan dollar AS. Atau, juga banyak kalangan yang mesti membayar utang ke luar negeri yang membutuhkan dollar AS. Lalu, apa dampaknya? Secara ekonomi riil, kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah akan membuat harga barang impor semakin mahal sehingga pada gilirannya bisa memberi pengaruh terhadap harga barang di dalam negeri. Muaranya adalah inflasi.

Ada baiknya risiko tersebut dipahami lalu dikaitkan dengan jenis investasi yang Anda pilih. Dengan cara seperti itu, pilihan investasi benar-benar didasarkan atas pengetahuan akan potensi keuntungan dan potensi risiko yang melekat di dalamnya. Jika Anda mampu melakukan itu, Anda sudah layak disebut sebagai investor rasional.

(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com