Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/10/2012, 20:18 WIB

Masakan Indonesia pada umumnya memiliki rasa dan aroma intens yang harus dipertahankan ketika disajikan dalam bentuk baru. ”Karena itu, semua bahan dimasukkan. Hasilnya, rasa bagus tetapi penampilan kurang. Inilah yang jadi tantangan. Selain itu, apresiasi masakan Indonesia juga kurang, termasuk dari orang Indonesia sendiri,” ungkap Andrian.

Berdasarkan hal inilah, ia memilih fokus pada teknik memasak molekuler untuk masakan Indonesia. Dan, mempraktikkan hal tersebut, termasuk menyajikannya di restoran Namaaz Dining yang dibuka pada tahun ini, bukan hal yang mudah. Perlu waktu lima tahun untuk mempelajari dan menyiapkannya.

”Bukan untuk menaikkan level, melainkan memberi sudut pandang yang berbeda tentang masakan Indonesia,” katanya.

”Slow food”
Hal serupa dilakukan tim Maharasa Indonesia dalam acara makan malam yang digelar Minggu (14/10/2012). Selain teh rempah dan sate lilit, para tamu disuguhi pula soto ayam, berbagai jenis nasi dari beras asli Indonesia, sate klatak, serta makanan penutup berupa perpaduan ledre pisang, srikaya durian, bubur sumsum, sagu delima, dan labu kuning. Semuanya disuguhkan dalam penyajian modern dan cantik.

Makan malam itu digelar untuk menandai partisipasi Indonesia dalam festival slow food Salone del Gusto and Terra Madre di Turin, Italia, 25-29 Oktober. Pergelaran ini akan diikuti para pelaku kuliner, termasuk petani dan peternak, dari puluhan negara.

Slow food sendiri merupakan gerakan yang mengajak masyarakat dunia kembali kepada kearifan lokal di sektor pangan. Gerakan ini dimulai tahun 1986 oleh Carlo Petrini, pria asal Italia, sebagai perlawanan atas globalisasi masakan cepat saji. Dalam hal ini, ragam masakan Indonesia tentu sangat dekat dengan aliran slow food.

Sebagai delegasi Indonesia, Maharasa Indonesia juga akan mengikutsertakan pelaku kuliner, aktivis pangan, petani dari daerah (di antaranya petani garam berbentuk piramida dari Bali), dan sesepuh dari Kasepuhan Cipta Gelar di sekitar Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan ini, seperti dikatakan salah seorang anggota Maharasa Indonesia, Lisa Virgiano, melestarikan 66 varietas beras lokal.

Lisa bercerita, delegasi Indonesia akan membawa 22 produk unggulan ke Italia, di antaranya tujuh jenis beras lokal, tepung, garam, kacang-kacangan, gula, kopi, dan teh.

Dalam sebuah acara lokakarya nanti, salah satu beras dari Cipta Gelar akan dibuat nasi kabuli (sejenis nasi tumpeng). Untuk mendapat hasil sesuai aslinya, anggota delegasi yang bertugas memasak, yaitu Swan Kumarga, bahkan sempat ”berguru” terlebih dulu kepada masyarakat adat di Cipta Gelar untuk membuat masakan tersebut.

”Kita harus pamer, menunjukkan betapa kayanya kuliner Indonesia,” kata Lisa bersemangat.

Banyak bahan pangan asli Indonesia kian langka, misalnya berbagai varietas beras tadi. Berangkat dari kondisi ini, orang-orang yang peduli akan bahan pangan lokal bergabung membentuk Maharasa Indonesia. Festival slow food di Italia menjadi oase tersendiri bagi masakan Indonesia di panggung dunia.

”Acara malam ini harus menjadi forum yang memperkaya khazanah, tidak hanya lidah, tetapi menjadi pemicu kesadaran bahwa bangsa ini terlalu luar biasa untuk diabaikan,” ujar Adzan, menutup acara makan pada Minggu malam yang membuat semua tamu tersenyum puas.

(Yulia Sapthiani/Sarie Febriane)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com