Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/01/2013, 12:42 WIB

KOMPAS.com - Sekelompok putri rindu pada wajah budaya Ibu Pertiwi. Mereka lalu belajar menari dengan menghimpun diri dalam Sekar Puri. ”Sekar” adalah bunga dan ”puri” itu istana. Dan, menarilah ”bunga-bunga” puri itu....

Gamelan mengalun lembut di rumah keluarga Bustanil Arifin yang teduh di bilangan Jalan Hang Tuah, Jakarta Selatan. Irama gamelan yang ayem tentrem itu mengiringi putri-putri belajar menari. Mereka adalah para putri dari perkumpulan Sekar Puri, bunga-bunga puri.

”Bunga-bunga” itu adalah Gendis Siti Hatmanti Wicaksono, Nasta Soetardjo, Mulan Kwik, Sarah Arifin, Kristry Syarfuan Ismoyo, Ita Arifin, Putri Hehuwat, Dilah Sasri Indra, Tantri Ramly, Silria Sari Daradjatun, dan Sita Satar. Salah seorang anggota, Alphadian Parahita tidak hadir. Usia mereka antara 25 sampai 30-an tahun. Ada pula yang lebih senior dari itu. Mereka mengenakan kain batik, dan pada pinggang mereka terikat sampur warna warni.

Sekar Puri dibentuk sebagai perkumpulan untuk berlatih tari. Mereka berawal dari Sarah, Mulan, Ita, Gendis, dan Tantri lalu dengan komunikasi gethok tular alias ajak mengajak, berkembanglah menjadi seperti sekarang. Mereka mulai pentas tari bedayan Kusuma Aji di Yogyakarta dilatih oleh Dewi Sulastri.

Nama Sekar Puri itu sumbangan KRMH Djatmiko dari Mangkunegaran. Seminggu sekali, seperti pada Jumat (14/12/2012) siang itu, anggota Sekar Puri berkumpul di rumah keluarga Bustanil Arifin. Mereka belajar di bawah instruktur tari yang mereka sapa Mbak Nuk. Dengan tekun mereka mengikuti arahan Mbak Nuk. ”Satu, dua, ngithing, ngrayung, ngithing, ngrayung...”

Mereka tengah melatih posisi jari ngithing di mana ujung ibu jari bertemu dengan ujung jari tengah. Adapun ngrayung adalah posisi keempat jari tangan rapat lurus ke atas, ibu jari ditekuk menempel telapak tangan. Mereka juga berlatih mendhak, posisi berdiri dengan kedua lutut di tekuk menghadap keluar.

Saat jeda latihan para putri itu kehausan. ”Aduh aku sudah basah banget...,” kata Sita Satar yang tubuhnya berkeringat setelah menari.

”Menari ini saya anggap olahraga, kayak pilates,” kata Sita, yang sehari-hari aktif sebagai pengurus Yayasan Jantung Indonesia. Sita, putri antropolog Prof Koentjaraningrat (alm), termasuk senior dalam Sekar Puri.

”Susah tapi menyenangkan. Kayak yoga, gerakannya tenaang...” kata Mulan Kwik, putri ekonom Kwik Kian Gie.

Melatih ”roso”
Kemampuan menari Jawa dari Sekar Puri pernah dijajal dalam pentas wayang orang Srikandi Ngedan di Gedung Kesenian Jakarta pada 29 November lalu. Mereka tampil bersama para senior dalam Yayasan Mitra Bharata (YMB) dan Sekar Budaya Nusantara yang bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata. Itu mengapa dalam latihan ikut hadir Yani Arifin dan Enny Sukamto, senior mereka yang aktif di YMB.

Sebagian anggota Sekar Puri ada yang baru pertama kali belajar menari Jawa. Ada pula yang mempunyai dasar tari Bali atau tari modern. Ada pula yang telah berpengalaman di pentas pertunjukan, seperti misalnya Ita Arifin, yang pernah pentas bersama Swara Mahardhika Guruh Soekarno. Ada yang sejak kecil telah berlatih menari seperti Sasri dan Gendis.

”Waktu eyang ulang tahun, saya dan kawan-kawan pernah menari di depan beliau di Taman Mini,” kata Gendis yang adalah cucu dari mantan Presiden RI Soeharto (alm).

Sarah Arifin, sama sekali tak kenal tari Jawa sebelumnya. Perempuan berdarah Aceh-Padang ini tertarik menari karena ajakan ibu mertuanya, Yani Arifin, yang aktif di Yayasan Mitra Baratha. Putri Diah Astari Hehuwat juga belum mengenal tari Jawa sebelumnya. Ia berlatih dan kemudian diajak sang mertua, yakni Enny Sukamto, untuk pentas Roro Mendut dan Srikandi Ngedan.

”Mereka harus banyak berlatih biar ada roso kalau mereka menari di pentas,” kata Enny Sukamto. Roso adalah semacam jiwa, atau greget yang perlu dimiliki penari saat menari.

Roso, penghayatan, penjiwaan, yang menyangkut kepekaan jiwa. Mereka mengakui itu sebagai bagian yang tersulit. Teknik bisa dilatih, tapi roso harus diasah. ”Kesulitan saya rasakan ada pada penjiwaan dalam menari Jawa yang tidak dapat dipelajari secara instan,” kata Putri Hehuwat, desainer grafis yang mempunyai basis balet.

Sebagian besar dari Sekar Puri adalah ibu-ibu. Sebagai ibu, mereka juga ingin menularkan kecintaan pada budaya itu ke anak-anak mereka. Bukan hanya tari. ”Saya akan mengajarkan tatakrama, bahasa Jawa dan berpakaian Jawa kepada putri saya. Kalau sudah tertanam kesadaran itu, maka untuk mencintai budaya Jawa dan budaya Indonesia akan sangat gampang bagi putri saya,” kata Nasta Sutardjo, penyelenggara acara (event organizer).

Enggak lagi ”western”
Kesadaran akan kayanya ranah budaya Tanah Air muncul dari para putri itu justru ketika mereka tinggal di luar negeri. Tantri Ramly, putri mantan Dubes RI di Amerika Serikat AR Ramly itu, misalnya, mendalami tarian Jawa justru terjadi setelah ia kenyang bertumbuh dalam kultur Barat.

Tantri pindah ke Amerika Serikat sejak kelas III SD, ketika ayahnya menjadi Duta Besar RI untuk AS. Ia menamatkan SMP di AS, bersekolah SMA di Jakarta, lalu kembali lagi ke AS untuk kuliah. Pulang ke Indonesia setelah dewasa, ia mendapati nuansa yang meresahkan. ”Orang Indonesia sekarang kok banyak yang kebarat-baratan,” ujar ibu muda ini.

Di AS, Tantri pernah belajar balet. Ia membayangkan paduan tradisi dan seni kontemporer akan sangat memikat. Namun, untuk bisa membuat paduan itu, kata Tantri, ada syarat penting. ”Harus kenal dan kuat dulu dasar budayanya,” kata Tantri.

Dilah Sasri Indra, cucu mantan KSAU Omar Dhani (alm), pernah dihadapkan pada situasi serupa. Ketika ia kuliah desain tekstil di Tama Art University Tokyo, Jepang, ia perlu mengenal lebih dahulu budaya bangsanya sendiri. Kebetulan Sasri sejak kecil sudah belajar menari Bali. Selain itu, ia juga memperdalam batik. Cukup lama di Jepang, dan pulang ke Indonesia tahun ini, Sasri menjadi semakin mencintai budaya negeri sendiri.

”Memang aku suka banget sama budayanya, kesenian, tarian, bahasa, alamnya, dan yang pasti kerajinan tekstilnya yang berbeda di tiap daerah. Aku ingin sekali belajar ke daerah-daerah supaya jadi inspirasi baru untuk aku,” kata Sasri yang November lalu sempat menampilkan karyanya di Jakarta Fashion Week.

Rupanya pengalaman serupa itu juga dialami seniornya yaitu Yani Arifin. Yani yang kuliah bisnis di Peperdine University, California, AS, sempat mendalami sejarah kebudayaan Barat. Ia sering datang ke museum seni. ”Pulang ke sini (Indonesia), saya bisa lebih menghargai budaya sendiri. Lho... ternyata kita punya budaya yang lebih bagus dan lebih kaya,” kata Yani.

”Sekarang kalau kondangan anak-anak muda ini pakai kain, enggak lagi pakai rok. Mau acara resmi atau kasual, kain tetap bisa dipakai. Enggak western,” ujar Yani Arifin yang gembira melihat generasi anak-anaknya belajar menari Jawa.

”Waktu seusia mereka, saya masih ke disko, ha-ha...” kata Yani.

Berkumpul untuk belajar tari mereka akui baru merupakan langkah kecil untuk merawat budaya.

”Masih banyak perjalanan yang harus kita lakukan untuk memperkenalkan bahwa Indonesia sebegitu kayanya dengan budaya,” kata Gendis.

(Nur Hidayati/Frans Sartono)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com