Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkarya, Mandiri, Tanpa Korupsi

Kompas.com - 24/02/2013, 05:57 WIB

”Kebutaan itu bukan kegelapan. Kita bisa bikin terang dengan hal-hal lain. Kami menggali sejuta kelebihan dari satu kekurangan,” kata penyandang tunanetra, Hendra Jatmika Pristiwa.

Dan, inilah para penyandang tunanetra yang berjuang membuat terang, tak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi sesama penyandang tunanetra. Bahkan, juga bagi orang lain di sekitarnya yang notabene disebut ”normal”.

Didi Tarsidi (61), penyandang tunanetra, anak petani miskin dari Sumedang, meraih gelar doktor di bidang bimbingan dan konseling. Ia mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden The World Blind Union untuk Asia Pasifik.

Di Yogyakarta, ada Setia Adi Purwanta (59), pendiri Dria Manunggal, lembaga penelitian dan pemberdayaan warga difabel. Banyak hal ia perjuangkan, salah satunya pembuatan peta taktual bagi penyandang tunanetra.

Kemudian ada Bambang Basuki (62) yang membangun Yayasan Mitra Netra, lembaga nirlaba di Jakarta yang pernah meraih beragam penghargaan tingkat nasional dan internasional. Dari Mitra Netra, sejumlah penyandang tunanetra mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Mereka berjuang keras memosisikan tunanetra sebagai warga negara yang setara dengan warga lain dan menjadi salah satu unsur pembentuk keragaman di masyarakat.

Tunanetra dalam pandangan Didi merupakan salah satu karakter pribadi, seperti halnya pendek, gemuk, berkulit coklat atau hitam. Seperti banyak karakteristik lain yang kadang membutuhkan bantuan atau teknologi asistif, begitu juga tunanetra.

”Orang pendek menggunakan sepatu hak tinggi. Orang yang merasa ada bagian wajah kurang disukai menggunakan kosmetik untuk mengoreksinya,” ujarnya.

Penyandang tunanetra atau orang dengan kekurangan penglihatan, lanjut Didi, menggunakan komputer untuk membaca, tongkat untuk berjalan, dan alat bantu lainnya. ”Saya percaya Tuhan merencanakan sesuatu yang baik bagi saya. Selalu ada sesuatu yang positif datang dari situasi apa pun,” ujarnya.

Profesi ”bergengsi”

Kompas bertandang ke rumah Hendra Jatmika Pristiwa (37) di Kelurahan Cipaganti, kampung padat di Kota Bandung, Jawa Barat. Di loteng rumahnya, ia membangun studio kedap suara yang dilengkapi seperangkat alat musik serta perangkat komputer. Di studio itu, Hendra bisa duduk berjam-jam membuat aransemen musik, membuat jingle iklan, melakukan mixing atau meramu dan melaras hasil rekaman orang lain. Dari kamar itu, ia berkelana ke dunia maya, membuka blog pribadi bernama Hendra Pianoman. Dari komputernya ia menerima pesanan membuat aransemen dari artis luar negeri.

Hendra memang berprofesi sebagai musisi, penata musik, sound engineer, dan pelatih paduan suara. Ia juga instruktur teknologi informasi. Komputernya dilengkapi aplikasi pembaca layar (screen reader) yang disebut JAWS alias Job Access With Speech. Dengan JAWS, seluruh perintah dan informasi di layar terdengar lewat mesin pembaca.

Ia sering diundang ke beberapa kota untuk memberi pelatihan tentang teknologi rekaman. Ia bahkan beberapa kali datang ke Singapura dan Malaysia untuk memberi pelatihan serupa.

Dengan profesi itu, Hendra bisa menghidupi keluarga. Ia beristrikan Nenden Shintawati, penyandang tunanetra yang dikenal sebagai penyanyi jazz. Pasangan ini membuahkan seorang anak, Aura Yasinta Celesta (8).

”Saya ingin memberi alternatif profesi yang lebih bergengsi, yaitu bermusik dengan teknologi. Saya ingin menyebarkan ilmu recording ke temen-temen sebagai profesi,” kata Hendra.

Ketika penyandang tunanetra sudah berusaha keras untuk berkarya mandiri, justru sebagian masyarakat yang bermata awas sulit menerima tunanetra dan melakukan diskriminasi.

”Sebagian besar masyarakat hanya melihat tunanetra yang kurang berhasil, seperti yang mengemis dan mengamen di jalan-jalan. Padahal, ada tunanetra yang berhasil dan berkarya bagi masyarakat di balik tembok-tembok gedung,” ujar Didi.

Berdaya guna

Pada akhirnya, penyandang tunanetra sendirilah yang harus gigih memberdayakan diri, tanpa berkoar-koar mengeluh. Mereka membentuk yayasan atau lembaga swadaya untuk memberdayakan diri. Setia, misalnya, mendirikan Dria Manunggal pada 1991. Dria Manunggal mendapat penghargaan dari United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) pada 2000 dalam hal pengembangan sumber daya manusia.

Setia yang gemar nongkrong di angkringan di Pakualaman, Yogyakarta, ini juga rajin mengajak sejumlah komunitas di Yogyakarta mempromosikan pendidikan inklusif. ”Saya sedih kalau orang, bahkan pemerintah, masih sering mempersempit soal inklusivitas itu jadi hanya perkara membaurkan difabel dengan nondifabel,” ujarnya.

Setia juga mengelola Pusat Sumber Pendidikan Inklusif (PSPI), Yogyakarta. Ia memprakarsai penyusunan peta taktual yang memuat simbol untuk diraba penyandang tunanetra. Peta ini dibuat dan diterbitkan dengan kerja sama Dria Manunggal, PSPI Yogyakarta, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dan Badan Informasi Geospasial.

Peta taktual ini terbagi dalam tema wilayah administratif Indonesia hingga tingkat kabupaten, peta sumber daya alam abiotik, dan peta transportasi darat. Saat ini sedang disusun pula peta taktual bertema transportasi laut dan udara. ”Pembuatan peta ini adalah upaya pemenuhan hak asasi tunanetra untuk memperoleh informasi geospasial. Peta juga membantu mobilisasi mereka,” ujarnya.

”Anak sekolah tunanetra yang membaca peta jadi tahu bahwa Pulau Jawa itu kecil dan Sumatera itu bentuknya seperti singkong he-he....”

Pemberdayaan tunanetra juga dilakukan Bambang Basuki dengan mendirikan Yayasan Mitra Netra di Jakarta. Yayasan ini telah menyempurnakan sistem braille Indonesia bidang bahasa, matematika, fisika, dan kimia. Para pekerjanya juga mengembangkan teknologi buku braille dengan komputer melalui peranti lunak yang dapat mengubah file teks berbahasa Indonesia dan Inggris menjadi file braille.

Mereka menyalin dan mencetak buku ke dalam braille. Setiap tahunnya, sekitar 150 judul buku digandakan menjadi 5.000 volume buku braille. Selain itu, dibangun juga perpustakaan braille online dan digitalisasi buku bicara. Yayasan Mitra Netra juga mengadvokasi dan mendampingi sekolah inklusif dan fasilitas sumber belajar lainnya untuk meningkatkan pelayanan bagi tunanetra.

Di lembaga swadaya masyarakat yang berlokasi di Lebak Bulus itu, para anggota staf Mitra Netra menyelenggarakan layanan dukungan dan pendidikan, mulai dari layanan rehabilitasi, bimbingan belajar, pendampingan baca, tutorial mata pelajaran tertentu, hingga pelatihan komputer bagi mahasiswa guna membantu peserta didik tunanetra.

Berdirinya Mitra Netra yang telah dirasakan manfaatnya oleh para tunanetra di negeri ini tak lepas dari perjuangan hidup Bambang untuk menjadi individu bermakna. Menurut Bambang, menjadi orang yang bermanfaat itu merupakan hal mewah bagi tunanetra yang pikirannya selalu dihantui kekhawatiran menjadi beban.

Begitulah, ketika negeri ini semakin riuh dengan orang-orang yang berupaya memperkaya diri dengan berbagai cara, penyandang tunanetra memberdayakan diri dengan berkarya, mandiri. Tanpa korupsi. (DAY/INE/XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com