Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencintai Produk Pangan Lokal

Kompas.com - 28/05/2013, 02:25 WIB

Sejak beberapa bulan lalu, masyarakat Indonesia dibuat bingung dengan harga bahan pangan yang semakin mahal. Paling tidak ada tiga komoditas yang harganya masih fluktuatif, yaitu kedelai, daging, dan bawang. Tak hanya konsumen yang kalang kabut, pedagang pun harus memutar otak untuk bisa tetap berdagang dan mendapat keuntungan.

Indonesia memang masih bergantung pada impor pangan dalam jumlah yang besar. Lahan pertanian semakin sempit karena perubahan fungsi lahan. Ditambah lagi belum ada lembaga pemerintah yang mengurusi soal pangan secara menyeluruh. Dewan Ketahanan Pangan hanya forum koordinasi antarlembaga yang terkait dengan pangan, tetapi tidak mempunyai kewenangan kebijakan.

Kita ambil salah satu masalah krusial, yaitu impor pangan yang mengalir deras. Beberapa bahan pangan yang masih diimpor, antara lain beras, kedelai, jagung, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging, mentega, dan minyak goreng. Masih banyak lagi bahan pangan impor yang kemudian membuat masyarakat lebih memilih bahan pangan impor dengan alasan kualitas lebih baik.

Bahkan, untuk sejumlah komoditas pangan penting, ketergantungannya semakin besar. Misalnya, impor susu untuk memenuhi 70 persen dari kebutuhan, gula 30 persen, garam 50 persen, gandum 100 persen, kedelai 70 persen, dan daging sapi 30 persen. Belum lagi masalah impor beras yang jumlahnya masih cukup besar. Pada tahun 2012, misalnya, impor beras mencapai 1,6 juta ton.

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, mengatakan, produksi beras lokal masih bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi anehnya impor beras tidak pernah turun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada tahun 2012 sebesar 68 juta ton. Perkiraan kebutuhan konsumsi beras per kapita 139 kilogram per tahun atau sekitar 33 juta ton. Kenyataannya konsumsi beras per kapita 113 kilogram atau 27 juta ton.

”Artinya ada surplus beras. Meski kecil, tiga tahun terakhir ini impor beras tetap saja ada, bahkan semakin naik,” katanya.

Peran mahasiswa

Anggita Nugrahanto, mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, sebagai mahasiswa yang mempelajari bidang pangan, bersama teman- temannya dia membantu para petani untuk meningkatkan kualitas pangan hasil pertanian.

”Kami membantu petani mengembangkan hasil pertanian, misalnya pengemasan produk pertanian di Purwobinangun, Sleman. Kami juga mengampanyekan cinta produk pangan lokal kepada masyarakat,” kata Anggit.

Berbagai solusi untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, menurut Anggit, sudah dipelajarinya dalam kuliah sehari-hari. ”Kami mempelajari teknologi pertanian, baik saat menanam maupun setelah panen. Seharusnya harga komoditas pangan ditentukan oleh petani, bukan mekanisme pasar sehingga petani tidak semakin menderita. Untuk itulah kami berusaha membantu petani,” ujarnya.

Menurut Anggit, akademisi perguruan tinggi tidak henti-hentinya melakukan berbagai penelitian untuk pengembangan bidang produk pangan. Beberapa penelitian dilakukan melalui pengabdian kepada masyarakat.

Ahmad Sidik, Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan, sudah saatnya kita bangsa Indonesia harus bangga menggunakan produk lokal secara nasional. ”Membeli produk lokal hasil keringat bangsa Indonesia sendiri, seperti beras, buahbuahan, dan daging harus dijadikan budaya sehari-hari kita. Faktanya, kualitas produk lokal tak kalah dengan kualitas produk impor. Selain itu, membeli produk lokal juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dalam negeri,” katanya.

Masalah krusial

Dari tahun ke tahun, impor pangan semakin besar. Tahun ini impor pangan mencapai Rp 96 triliun. Sejak reformasi, ketergantungan impor pangan semakin besar apalagi untuk komoditas pangan, seperti beras, jagung, kedelai, gula dan susu.

Khudori mengatakan, masalah ketahanan pangan yang lain adalah lahan pertanian yang semakin menyusut. Pada periode 2007-2011, laju perubahan lahan di Pulau Jawa mencapai 200.000 hektar per tahun. ”Lahan kita memang luas, tetapi bukan ditanami pangan. Sebagian besar merupakan hutan dan perkebunan. Perubahan fungsi lahan empat kali lebih cepat daripada kecepatan pemerintah menyediakan lahan pertanian baru,” ujarnya.

Khudori mengatakan, sayangnya, saat ini minat generasi muda mempelajari bidang pertanian semakin menurun. Perguruan tinggi sudah membuat berbagai jurusan dengan penamaan yang digabungkan, tetapi tetap saja kurang menarik.

”Meski begitu, kita tidak boleh putus asa. Berbagai penelitian dari perguruan tinggi seharusnya bisa menyumbang solusi masalah ketahanan pangan. Jadi, berlombalah membuat penelitian yang langsung bisa diaplikasikan ke lapangan,” katanya.

Selain itu, menurut Khudori, mahasiswa bisa memulainya dari diri sendiri dengan menggunakan produk pangan lokal. Kita bisa mencontoh Jepang yang mencintai produk beras lokalnya meski dijual dengan harga mahal Rp 60.000 per kilogram. ”Nasionalisme mereka sangat tinggi sehingga beras impor susah masuk ke Jepang,” ujarnya.

Khudori juga mengungkapkan, produk pangan impor belum tentu bagus karena disimpan terlalu lama. Contohnya, buah apel yang diimpor dari negara subtropis yang mempunyai empat musim. ”Artinya, negara itu hanya panen di satu musim saja. Buah-buahan yang dipanen itu pasti diberi bahan pengawet supaya tahan lama sehingga bisa diekspor ke negara lain secara berkala,” kata Khudori.

Masalah ketahanan pangan memang tidak bisa selesai dalam waktu yang singkat. Namun, jika tidak dimulai dari sekarang dan tidak dimulai oleh generasi muda, berbagai masalah ketahanan pangan bisa bertambah parah. (SIE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com