Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beatrice Ang, Dari Pasien Wangi sampai Kaum Papa

Kompas.com - 31/07/2013, 14:45 WIB

Jika kerusakan gigi dibiarkan, kata Bea, produktivitas hidup anak-anak menjadi berkurang. Karena sakit gigi, mereka menjadi malas makan dan berdampak pada gizi buruk. Kuman-kuman dari gigi bolong bahkan bisa tertelan dan memengaruhi kesehatan organ tubuh seperti jantung.

”Saya ingin meluangkan lebih banyak waktu untuk kegiatan sosial. Kondisinya cukup memprihatinkan,” kata Bea yang juga mulai aktif terlibat dalam kegiatan pelayanan pasien Lepra di Gempita atau Gerakan Masyarakat Peduli Bangsa dan Dunia tanpa Lepra.

Bingkai kasih
Kecintaannya terhadap warga di pelosok pedesaan—terutama NTT—dibangun dari pengalaman pribadi. Ia tumbuh besar di Ruteng, NTT, di mana kemiskinan membekap mayoritas warga.

Dulu, Bea sering kali pergi ke pelosok pedesaan NTT dengan menumpang oto atau angkutan umum pedesaan Ruteng yang usahanya digerakkan oleh orangtuanya. Alam perbukitan NTT yang indah itu pulalah yang membingkai hatinya menjadi penuh kasih.

Cita-cita sebagai dokter gigi dipupuk sejak sering mengantarkan kedua orangtuanya memeriksakan diri ke dokter gigi. Kota Jakarta kemudian menjadi ”rumah” kedua setelah lulus kuliah kedokteran gigi dari Universitas Trisakti.

Bea mengawali kariernya sebagai dokter gigi dengan membantu masyarakat miskin yang ingin berobat gigi di Klinik Kana di Gondangdia. Setahun setelahnya, Bea sempat pindah ke Klinik Smile Studio Dental di Pedurenan.

Kebanyakan pasien menjadi trauma ke dokter gigi karena pengobatan yang menyakitkan. Gigi harus dibor, dicabut dengan tang, hingga ditusuk jarum-jarum perawatan root canal untuk mematikan saraf gigi.

Dental unit atau kursi pasien yang dilengkapi dengan beragam alat pengobatan gigi sampai disebut sebagai kursi panas pasien. Karena mayoritas pasien pasti dihinggapi kecemasan kala duduk di kursi tersebut.

Bea wanti-wanti agar orang tidak trauma ke dokter gigi. Selain rajin menggosok gigi, dibutuhkan idealnya pemeriksaan rutin minimal empat bulan sekali ke dokter gigi. Jika saran itu dijalankan, niscaya bertemu Bea di klinik justru menjadi pengalaman ”mendebarkan”. Cukup buka mulut dan Bea akan merawat dalam bingkai kasih....

”Baby Face”
Bea sering dijuluki baby face. Ketika ia berpraktik sebagai dokter gigi, pasiennya sering kali tidak percaya bahwa ia adalah seorang dokter. Bea bahkan pernah disangka sebagai anak SMP ketika akan membuka praktik.

Tantenya yang dipanggil dengan julukan sayang "Iik" ternyata punya resep jitu. Agar Bea bisa tampil lebih matang dan dewasa, bukan imut, Iik menyarankan agar Bea mengenakan pakaian dan berdandan ala orang dewasa.

”Gimana caranya Iik supaya aku terlihat mature?” kata Bea menirukan keluhannya kepada si tante yang tinggal bersamanya di sebuah apartemen di Kuningan.

Pakaian-pakaian yang kini dipakainya terinspirasi dari sang tante. Untuk memperkaya referensi mode, Bea sering menonton beragam peragaan busana yang banyak digelar di Jakarta. Ia lantas melengkapi diri dengan aneka aksesori dari merek berkelas.

”Saya sangat menghargai barang branded. Suka kualitas dan pembuatannya pasti tidak simpel, melibatkan banyak orang,” tambahnya.

Barang-barang berkelas itu biasanya dipakai ketika ia jalan-jalan bersama teman atau menghadiri seminar. Waktu luang Bea di Jakarta biasa diisi dengan nonton film. Di akhir pekan, ia lari pagi bersama enam rekan anggota komunitas Run for Life dari depan Kantor Bursa Efek Indonesia menuju Bundaran Hotel Indonesia lalu kembali ke BEI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com