Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/08/2013, 11:06 WIB
KOMPAS.com - Belakangan ini keluhan mengenai kesulitan komunikasi antar generasi, antar bagian, alias gejala "silo" semakin kencang. Padahal media komunikasi kian hari kian canggih. Sudah ada video conference yang bisa dilakukan secara global, realtime, gratis pula.

Namun, tetap saja keluhan mengenai sulitnya mendapatkan "kata sepakat" atau sulitnya menjalankan suatu komitmen terus kita dengar. Kita bukannya tidak berkomunikasi, karena jelas kita bicara sepanjang waktu, juga melakukan rapat dan meeting internal secara berkala. Kita bisa saksikan juga media televisi dipenuhi talkshow, debat, diskusi, begitu pula ulasan mengenai rapat parlemen yang berjalan dari waktu ke waktu.

Pertanyaannya, apakah kita mengevaluasi sejauh mana komunikasi yang berlangsung sehari-hari ini, baik atasan–bawahan, antar unit kerja, membuahkan hasil? Sering kita saksikan bahwa komunikasi, meeting dan diskusi, ternyata tidak menjadikan kita tambah pandai, tambah tahu, atau tambah mengerti, apalagi jadi tambah gesit dan produktif. Alangkah borosnya waktu dan biaya yang dikeluarkan.

Dari media massa pula semakin sering kita menyaksikan benturan nilai maupun benturan pendapat yang bukan saja tidak bisa diselesaikan, namun kadang diakhiri dengan agresi. Padahal, di era AFTA 2014, di mana nantinya batas-batas baik bisnis, komunikasi, dan hubungan diplomasi semakin berbaur, tentu akan ada semakin banyak perbedaan, baik dari bidangnya,  ilmu, kultur maupun tingkatannya.

Sebetulnya, bila kenyataan ini dimanfaatkan, kepentingan bersama bisa kita dapatkan dari kelebihan masing-masing pihak. Hal ini yang tentu perlu menjadi concern kita bersama. Kita perlu sadari betapa kita perlu belajar banyak, menyerap perbedaan, dan mengelola keberagaman.

Di organisasi, banyak pemimpin yang menginginkan agar seluruh jajaran organisasi mau mengungkapkan pendapat dan masukan mereka, tetapi banyak yang tidak bisa mencapai sasaran tersebut. Komunikasi terasa satu arah, dan "top down". Alangkah sia-sianya kepintaran dan keahlian jajaran di bawah, yang biasanya punya pengetahuan baru dan berbeda. Ini hanya karena mutu konversasi yang beredar di organisasi tersebut.

Sebaliknya, CEO Apple, Tim Cook, menekankan untuk merekrut karyawan yang berbeda dan berani mengemukakan pendapat: “If you don’t feel comfortable disagreeing, you’ll never make it at Apple”.

Dalam setiap dialog, apakah itu dalam rapat internal, debat berdua maupun dalam kelompok, setiap partisipan perlu memperhatikan kesuksesan dari komunikasinya. Apakah komunikasinya mempunyai sasaran yang jelas, tidak hanya asal bunyi atau asal bicara saja? Apakah pesan yang ingin ia sampaikan bisa ditangkap dengan baik oleh lawan bicara? Apakah pesan yang disampaikan oleh lawan bicara benar-benar bisa dipahami seluruhnya? Bila tidak sukses, bagaimana memperbaikinya?

Keluhan mengenai kesenjangan pengetahuan para freshgraduate dengan para senior berpengalaman jelas tidak bisa selesai dengan keluhan tentang ber-"beda"-nya para gen Y. Kita perlu menyadari bahwa tacid knowledge dikembangkan dari pembicaraan tentang praktek. Bila di lapangan tidak ada tanya jawab yang berbobot, individu tidak bisa mempelajari suatu pengalaman secara mendalam. Perlu ada proses perpindahan konsep dan logika lapangan itu ke individu. Dan ini hanya bisa terjadi dengan tanya jawab yang panjang dan mendalam.

Hapus budaya bicara: ”hit & run”
Pernahkah kita memperhatikan cara-cara kita berkomunikasi? Apakah kita memberikan waktu yang cukup untuk mendengarkan lawan bicara kita menuntaskan bicaranya? Tuntaskah tanya-jawab kita? Bayangkan seorang atasan yang kesal karena anak buahnya sering terlambat. Ketika berpapasan di lift, ia menyatakan, ”Kamu terlambat lagi...”, dengan muka asam. Baru saja sang anak buah ingin memberi keterangan tentang kesulitannya, atasan tersebut sudah berlalu.

Apa yang didapat dari  konversasi  singkat ini? Sekadar pelampiasan kemarahan yang menimbulkan rasa bersalah besar pada diri anak buah itu. Apakah dialog ini membuahkan perbaikan perilaku? Sama sekali tidak. Celakanya, orang lain yang menyaksikan jadi ragu untuk berdialog dengan atasan tersebut. Bukankah situasi begini sangat merugikan bagi semua pihak?

Kita jelas bisa banyak belajar dari proses tanya jawab. Bukankah pengembangan dan penguatan nilai-nilai hanya bisa di lakukan melalui tanya jawab yang panjang? Bukankah pendalaman pengetahuan dan ketrampilan juga hanya bisa dilakukan melalui percakapan yang bermutu?  Bukankah kita mendengar tentang bolak-balik komunikasi Jokowi dengan pedagang kaki lima di Solo dan Organda DKI diwarnai dengan tanya-jawab intensif?

Perbedaan kepentingan memang harus melalui proses panjang agar masing-masing pihak menyetujui agenda dan sasaran pihak lain. Percakapan adalah proses pertukaran yang sangat penting. Pertukaran pengetahuan, pendapat, sasaran, pemahaman, hanya bisa kita lakukan melalui percakapan yang diwarnai tanya-jawab bermutu. Pertanyaan-pertanyaan bersayap, menyindir atau juga retorika yang tidak mengundang tanya-jawab yang sehat-lah yang perlu kita hindari.

Komunikasi 50-50
Kita sering menghadapi situasi di mana pertanyaan yang diajukan seseorang menyudutkan, atau membuat kita merasa bersalah, sehingga kita merasa tidak nyaman. Ini adalah bentuk tanya jawab yang tidak produktif, sehingga biasanya tanya jawab tidak bisa menghasilkan sesuatu yang konstruktif. Apa akibatnya? Informasi yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran komunikasi tidak keluar, apa yang ingin kita sampaikan pun terkadang tersendat di tenggorokan.

Ternyata, memang tidak selalu mudah melakukan konversasi yang "setara" ataupun mencari kata sepakat yang bisa menyelimuti perbedaan. Kita sering lupa menyadari bahwa "channel" komunikasi harus terbuka dulu, sehingga masing-masing pihak siap bertanya jawab. Bila salah satu pihak masih berbicara sambil membuang muka, hendaknya kita menunggu dulu sampai pihak lain itu siap betul bertanya-jawab.

Kita pun perlu menciptakan kesadaran bahwa masing-masing pihak perlu mempunyai keterlibatan yang sama. Setiap pihak, dalam berkomunikasi perlu memaknai isi pembicaraan, mengolah persepsi, pikiran, dan imajinasinya agar ia benar benar "paham" isi pembicaraan. Hal yang terpenting adalah tindak lanjut dari tanya jawab tersebut, apakah itu perubahan, transaksi atau tindakan yang disepakati bersama, yang membuat setiap pihak merasakan ketuntasan tanya jawab tersebut.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com