Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2013, 20:31 WIB
Wardah Fajri

Penulis


KOMPAS.com
- Niat baik memilih makanan alami untuk bayi saat mulai mengasup Makanan Pendamping ASI atau MPASI, dan menolak MPASI fortifikasi, justru membuat orangtua salah kaprah dalam memenuhi kebutuhan nutrisi batita. Alih-alih memenuhi kebutuhan gizi seimbang, bayi justru mengalami malnutrisi seperti kekurangan zat besi.

Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Damayanti Rusli Syarif, Sp.A(K) mengatakan masalah malnutrisi pada batita salah satunya bisa dicegah juga diatasi dengan praktek pemberian makan yang benar. Dengan pemberian makan yang benar, batita terhindar dari kekurangan atau kelebihan zat gizi tertentu, atau terhindar dari gizi salah (malnutrisi).

"Gizi salah berbeda dengan gizi buruk. Gizi salah lebih kepada kekurangan atau kelebihan zat gizi tertentu," terangnya di Jakarta, Kamis (21/11/2013).

Damayati menjelaskan, bayi usia 6-8 bulan berisiko besar kehilangan zat besi. Pada usia ini, ASI tidak mencukupi kebutuhan zat gizi tertentu dan bayi membutuhkan tambahan zat besi yang bisa didapatkan dari MPASI. Kebutuhan zat besi bayi enam bulan sebesar 11 mg.

Sayangnya, tak sedikit orangtua memberikan MPASI berupa makanan dengan kandungan zat besi rendah. Sebagian orangtua memilih makanan dari bahan alami, yang diyakini lebih aman, namun sebenarnya kebutuhan zat besi tidak terpenuhi.

"Saat bayi mulai MPASI, orangtua banyak memberikan pisang, zat besinya hanya 0,31 mg, atau tepung beras dengan zat besi 0,1 mg. Sedangkan MPASI yang difortifikasi zat besinya 2,26," jelas Ketua Divisi & Penyakit Metabolik dari Departemen IKA FKUI RSCM ini.

Mitos mengenai MPASI fortifikasi menjadi salah satu faktor yang membuat orangtua hanya mengandalkan makanan alami untuk batita. Padahal, MPASI yang difortifikasi seperti bubur atau biskuit bayi, bisa menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan zat besi.

"Makanan bayi pabrikan dianggap sama dengan makanan pabrikan dengan orang dewasa. Padahal MPASI fortifikasi diproduksi sesuai aturan WHO dan diawasi oleh WHO dalam pembuatannya. Kalaupun ada zat aditif, seperti garam dan gula, ada aturannya, tidak boleh berlebihan. Pastikan saja makanan fortifikasi seperti bubur dan biskuit tersebut punya izin BPOM, baca labelnya dengan baik," terangnya.

Menurutnya, MPASI fortifikasi aman dikonsumsi sejak bayi berusia enam bulan.

Meski begitu, Damayanti mengungkapkan, makanan alami bisa saja memenuhi kebutuhan gizi yang lebih lengkap. Namun, hal ini masih perlu dibuktikan dengan penelitian.

"Saat ini IDAI dengan meneliti, membuat resep makanan alami yang memenuhi kebutuhan gizi. Penelitian baru dimulai, dan rencananya selesai pada 2014. Saat ini masih dalam tahap kaji etik," ungkapnya.

Damayanti memaparkan, pemberian makanan yang benar perlu menjadi perhatian, lantaran makanan punya pengaruh besar terhadap pertumbuhan otak bayi. Pertumbuhan otak ada waktunya, 90 persen terbentuk pada tiga tahun pertama.

Jika anak mengalami gizi buruk, jaringan otak lebih sedikit dan ini akan berdampak pada kemampuan berpikir yang lebih lambat. Karenanya, penting bagi orangtua untuk mendeteksi dini apakah kebutuhan gizi anak benar-benar terpenuhi, termasuk dalam pemberian MPASI. Dengan begitu, anak terhindar dari malnutrisi apalagi gizi buruk.

Meskipun kondisi gizi buruk bisa saja diperbaiki dengan pemberian makan yang baik, dan berat badan juga bisa ditingkatkan, namun otak tidak bisa diselamatkan atau dikembalikan ke potensi awal, apalagi jika intervensi terlambat.

"Selain perlu mendeteksi dini, orangtua perlu keluar dari mitos," sarannya.

Halaman:
Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com