Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/01/2014, 13:24 WIB
dr. Frans Liwang

Penulis

Halo Prof

Konsultasi kesehatan tanpa antre dokter

Temukan jawaban pertanyaanmu di Kompas.com

Sumber Kompasiana


PERNAHKAH
Anda mendengar istilah plasebo? Atau Anda sering curiga diberi plasebo oleh dokter?

Ya, plasebo adalah zat yang terlihat menyerupai obat, tetapi sebenarnya netral dan tidak memiliki efek sama sekali. Dalam dunia medis, plasebo lebih sering digunakan dalam penelitian sebagai pembanding untuk mengetahui potensi suatu obat. Peneliti membagi subyek menjadi dua kategori: yang diberi obat sungguhan dan plasebo. Kemasan keduanya sama persis dan subyek tidak diberitahu apakah mendapat obat sungguhan atau plasebo.

Bentuk plasebo tidak sebatas pil yang ditelan, namun dapat juga berupa suntikan. Bisa saja “obat” plasebo yang disuntikkan hanyalah ialah air steril biasa.

Namun tak perlu khawatir, tidak ada rekayasa dalam penggunaan plasebo ini. Bila hendak dipakai dalam suatu penelitian, maka sang peneliti/dokter akan meminta persetujuan tertulis dahulu (informed-consent). Bahkan, tak jarang peneliti dan dokter adalah orang yang berbeda sehingga sang dokter pun tidak tahu mana obat sungguhan atau plasebo (double-blind). Dan, penelitian menggunakan plasebo pun tidak boleh sembarangan. Pasalnya, penyakit pasien haruslah masalah yang belum ada solusi standarnya sehingga tidak berbahaya (harm) bila toh mengonsumsi plasebo.

Terlepas dari perannya dalam penelitian, rupanya plasebo telah menarik minat kalangan dokter/ilmuwan. Karena isi obat plasebo adalah kosong, maka secara logika plasebo tidak akan menimbulkan perbaikan terhadap penyakit. Namun sebaliknya, cukup banyak hasil penelitian yang mengejutkan bahwa plasebo mampu memberikan hasilnya yang positif! Fenomena ini dinamakan efek plasebo.

Plasebo, secara harafiah berarti “I will please“, sebenarnya telah diperkenalkan sejak Abad ke-17 silam. Ada satu kutipan terkenal dari Thomas Jefferson yang bunyinya seperti ini:

One of the most successful physician I have ever known has assured me that he used more bread bills, drops of coloured water, and powders of hickory ashes, than of all other medicines put together.

Dan selang ratusan tahun kemudian, seorang ahli dari Harvard University bernama Richard Cabot mengatakan bahwa setiap dokter pasti pernah menggunakan plasebo, bread pills, suntikan air, dan sebagainya dalam pengobatan.

Hal tersebut jelas menuai kontroversi di kalangan dokter sendiri, boleh atau tidak bergantung pada efek plasebo. Dalam praktik medis, efek plasebo kebanyakan dipakai sebagai anti-nyeri serta mengatasi kecemasan/rasa khawatir. Karena statusnya masih tidak jelas, para peneliti pun kemudian menilik kembali studi-studi sebelumnya yang menggunakan pembanding plasebo. Mereka mengumpulkan, menelaah, dan mengolah data kembali untuk melihat apakah efek plasebo ini dapat dibuktikan secara ilmiah.

Salah satu penyakit yang disimpulkan mengalami perbaikan dengan plasebo ialah pengapuran sendi. Disebut juga osteoartritis atau OA, kasus ini sering mengenai individu usia lanjut dengan keluhan utama nyeri serta kaku pada sendi. Penyakit ini sering dijumpai, dan secara sederhana terjadi akibat degenerasi rawan sendi (faktor usia dan beban mekanis tubuh). Oleh karenanya, OA paling sering ditemukan pada sendi lutut, jari tangan, tulang belakang, tulang leher, dan sebagainya. Hingga saat ini belum ada terapi yang efektif untuk OA; prinsip pengobatan hanyalah mengurangi gejala nyeri serta mencegah perburukan saja, tidak dapat mengembalikan struktur sendi yang rusak. Dengan demikian, penggunaan obat anti-nyeri masih menjadi senjata utama.

Adalah Prof. Weiya Zhang, Ahli Reumatologi dari Nottingham University, Inggris, yang melihat efek plasebo pada OA ini. Profesor Zhang mengumpulkan 198 studi-studi besar yang telah ada, lalu menyimpulkan bahwa plasebo memang efektif untuk OA. Penggunaan plasebo dinilai mampu memperbaiki keluhan nyeri, kekakuan, serta fungsi dari sendi. Analisis dan penjelasan Prof. Zhang tersebut telah dimuat di jurnal ilmiah Annals of the Rheumatic Disease tahun 2008.

Meski demikian, penjelasan di balik hasil tersebut dinilai belum memuaskan. Melanjutkan studi lima tahun silam tersebut, pada awal September 2013 baru-baru ini peran efek plasebo terhadap OA kembali diangkat oleh pakar reumatologi Nottingham University.

Dalam publikasinya, hal yang dinilai paling berperan dalam efek plasebo ini ialah ekspektasi dan “pengkondisian” (conditioning) pasien terhadap penyakitnya. Sugesti dan penjelasan yang diberikan dokter disinyalir mampu menumbuhkan rasa percaya pasien terhadap obat yang diminumnya. Persepsi tersebut diduga mengaktifkan serangkaian mekanisme kompleks di otak yang menghasilkan zat-zat anti-nyeri alamiah dalam tubuh.

Tak berhenti pada plasebo saja, fakta menarik terkait persepsi ini pun terus dikembangkan oleh para peneliti. Mereka menemukan bahwa dengan isi yang sama, obat bermerek lebih efektif daripada generik. Obat yang lebih mahal juga ditemukan lebih efektif. Persepsi ini memang umum terjadi; mungkin saja Anda termasuk yang mempercayainya.

Di luar logika, warna obat pun dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan! Bagi para penggila klub sepak bola berkaos biru, kapsul berwarna biru ditemukan lebih efektif dibandingkan warna merah. Ini semua jelas akibat persepsi sang individu terhadap penyakit dan obat yang diminumnya.

Adanya fenomena plasebo ini mengingatkan kita soal kekuatan pikiran (power of mind) terhadap kesehatan tubuh. Bagi sejawat dokter, fakta ini dapat memotivasi kita untuk lebih sering mendengarkan, menjelaskan, dan empati kepada pasien. Informasi dan komunikasi yang baik nisyaca menumbuhkan pemikiran  positif bagi sang pasien. Dan bagi pasien, semangat dan pemikiran positif adalah obat manjur melawan penyakit. Percayalah pada dokter Anda (meski akhir-akhir ini kelihatannya sulit bagi pasien) dan tetaplah berpikir positif.

Salam sehat untuk kita semua!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Kompasiana
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com