Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Motif Seseorang Menjadi Teroris?

Kompas.com - 18/09/2014, 09:44 WIB


DEPOK, KOMPAS.com — Terorisme di Indonesia terus menjadi sorotan masyarakat. Kelompok teroris masih berupaya melakukan teror seperti yang diungkap kepolisian di Sulawesi Selatan baru-baru ini. Apa motif seseorang menjadi pelaku teror?

Psikolog sekaligus peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Bagus Takwin, mengemukakan, motif seseorang melakukan teror adalah kekuasaan, prestasi, atau afiliasi.

"Yang paling menonjol dan banyak ditemui pada pelaku teror ataupun pemimpin teror adalah motif kekuasaan," kata Bagus di Depok, Rabu (17/9/2014), seperti dikutip Antara.

Bagus mengemukakan hal tersebut berdasarkan studi-studi psikologi terhadap para pelaku teror. Berdasarkan studi tersebut, lanjutnya, tidak banyak motif prestasi dan motif afiliasi yang merupakan keinginan mencapai sesuatu dan ikut bergabung karena kedekatan pertemanan atau keluarga.

Bagus pernah mewawancarai sejumlah mantan pelaku teror di Lamongan sebagai salah satu responden penelitiannya. Menurut Bagus, dia tidak menemukan pelaku teror yang memiliki gangguan psikologis atau kejadian pada masa lalu.

"Gangguan psikologis atau kejiwaan tidak banyak berpengaruh. Ternyata psikologis mereka baik-baik saja, masa kecil mereka juga bahagia," kata Bagus.

Idamkan mati sahid

Dalam penelitiannya, Bagus pun menemukan bahwa para pelaku teror tersebut mengidam-idamkan mati sahid yang menjadi tujuannya. Kelompok teror tersebut, menurut Bagus, lebih mementingkan kehidupan akhirat ketimbang hidup di dunia.

"Mereka lebih menginginkan kehidupan setelah mati," ujar Bagus.

Namun, Bagus mengatakan, dirinya belum mengetahui alasan seseorang mengidamkan hal tersebut. "Perlu ada studi lebih lanjut," katanya.

Pelaku teror juga bisa dikenali dari ciri-ciri cara berpikirnya. Bagus menguraikan, pelaku teror merasakan kekalutan dalam dirinya, seperti marah terhadap situasi saat ini, merasa dunia berjalan secara tidak baik, menganggap orang lain tak bisa melakukan apa pun, merasa diabaikan, serta merasa tidak adil dan tak berdaya terhadap situasi.

"Pelaku teror tidak mau membicarakan masalah lagi, tapi ingin langsung melakukan tindakan nyata," ujar dia.

Dengan melakukan tindakan teror, lanjut Bagus, ada perasaan-perasaan yang didapat oleh pelaku setelah menjalaninya.

"Mereka akan mendapatkan identitas sosial dan penghargaan dari kelompoknya, juga sebagai petualangan bagi yang berusia muda," kata dia.

Peneliti lain dari Fakultas Psikologi UI, Solahudin, mengatakan, para teroris rata-rata berusia 20 tahunan. "Biasanya di bawah 30 (tahun), paling muda 16, paling tua 30," kata Solahudin.

Dalam menekan jumlah terorisme, ia berpendapat, caranya bukan membalas dengan kekerasan. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mengubah persepsi pelaku teror terhadap dunia yang dianggapnya tidak baik.

"Membuat persepsi mereka bahwa dunia ini nyaman, tenteram, bukan sebaliknya, dilawan dengan kegeraman," katanya.

Ia beranggapan, pelaku teror bisa dijauhi dari kekerasan dengan pendekatan dialog dan uluran tangan.

Metode tersebut pun terbukti ampuh dalam membuat pelaku teror jaringan Jamaah Islamiyah dan Moro Islamic Liberation Front, Ali Fauzi, tersentuh dan meninggalkan dunia terorisme.

Ali pergi ke Moro, Filipina, dan ditangkap kepolisian setempat hingga dipulangkan ke Indonesia.

"Saya tersentuh dengan polisi yang menjemput saya di bandara, bahkan mengantarkan saya ke rumah ibu saya," ujar Ali.

Selain itu, Ali meninggalkan dunia terorisme juga karena bujukan dari kedua kakaknya, Ali Ghufron dan Ali Imron, yang mengajaknya berhenti menjadi pelaku teror.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Antara
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com