Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Para Lajang Hadapi Paradoks Kartu Kredit, "Nongkrong", dan Biro Jodoh

Kompas.com - 01/10/2014, 16:42 WIB
KOMPAS.com - Ada paradoks seiring kemajuan ekonomi Korea Selatan. Warga kian sejahtera, tetapi tidak sedikit yang nelangsa lantaran tekanan hidup kian mendera. Ada persoalan gaya hidup, tuntutan penampilan perlente, hingga urusan jodoh, yang menjerat kehidupan para lajang di sana.

Di sebuah kafe, Minho mencurahkan isi hati. Suasana yang temaram seolah menggambarkan hatinya yang galau. Laki-laki lajang berusia 29 tahun itu mengaku sedang tak punya pekerjaan tetap.

”Karena itu, saya berusaha hemat. Minuman yang sebotolnya berharga 2.000 won (Rp 20.000) pun buat saya terasa mahal sekali,” keluhnya sambil menunjukkan sebotol jus buah yang baru saja dia beli dengan kartu kredit milik orangtuanya.

”Hidup di Korsel semakin hari semakin mahal. Kami bekerja mati-matian hanya untuk membayar utang. Begitu terus, sampai kami menua,” katanya sambil menghela napas.

Jangankan bagi penganggur, buat orang yang memiliki pekerjaan tetap pun hidup terasa berat. Minho bercerita, ketika dia masih bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji 3 juta won, sekitar Rp 30 juta, per bulan, uang itu selalu habis untuk membayar tagihan kartu kredit.

"Nongkrong" dan standar perlente

Konstruksi sosial masyarakat urban Korsel memang mendorong anak-anak muda menjadi tergolong boros demi memenuhi tuntutan gaya hidup. Mereka punya kebiasaan nongkrong bersama teman atau rekan kerja sambil minum soju, minuman keras tradisional Korea.

”Semalam bisa tiga kali pindah kafe. Sekali nongkrong bisa habis 300.000 won (Rp 3 juta). Kami tidak bisa menolak ajakan minum soju karena orang akan menilai kami sebagai orang yang kasar,” ujarnya.

Secara sosial, anak muda seumur Minho juga dituntut tampil perlente. Minho, misalnya, banyak mengeluarkan uang untuk membeli pakaian, sepatu, bahkan kosmetik, setidaknya body lotion dan krim wajah.

Saat berpacaran, laki-laki juga wajib membayar biaya makan-minum ketika kencan, membelikan pakaian, kosmetik, bahkan ada yang harus membayari biaya operasi plastik pasangannya. ”Makanya, kalau tidak punya uang, laki-laki Korea tidak berani pacaran, ha-ha-ha,” tutur Minho.

Tren biro jodoh

Karena biaya pacaran mahal, lanjut Minho, semakin banyak laki-laki Korsel yang mencari jodoh lewat biro jodoh. Dengan cara ini, pencarian jodoh lebih efisien dan murah. Cukup membayar beberapa ratus ribu won, laki-laki Korsel bisa mendapat jodoh tanpa perlu melewati masa pacaran panjang yang menguras isi kantong.

Minho mengaku pernah mendaftar di biro jodoh atas dorongan ibunya. Sayang, ia belum memperoleh jodoh yang tepat.

Saat ini, ”perjodohan” menjadi bisnis yang berkembang di Korsel. Iklan-iklan biro jodoh bertebaran di dinding kereta metro di Seoul. Iklan itu milik ratusan dari sekitar 2.500 perusahaan biro jodoh yang beroperasi di Korsel. Iklan itu bersaing dengan iklan klinik kecantikan, asuransi, dan program investasi.

CATATAN:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan utuh di Harian Kompas edisi Rabu (1/10/2014) berjudul "Sisi Nestapa Sebuah Negara Sejahtera" karya Budi Suwarna dan Hamzirwan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com