Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menderita Kelainan Kulit Langka, Tak Surutkan Impian Gadis Ini

Kompas.com - 04/02/2016, 15:05 WIB

KOMPAS.com - Mui Thomas lahir dengan tubuh dipenuhi kulit tebal, kering, retak dan pecah seperti sisik ikan. Kondisi ini disebut dengan Harlequin ichthyosis, sebuah gangguan kulit genetik yang sangat langka.

Kulit tebal yang pecah-pecah memengaruhi bentuk kelopak mata, hidung, mulut, dan telinga. Sehingga wajah akan terlihat seperti tertarik. Tak jarang, ini menyebabkan penderitanya kesulitan untuk makan. Bukan hanya itu, mereka juga tidak dapat berkeringat, meski bisa mengeluarkan air mata.

Penyebabnya adalah mutasi pada gen ABCA12, yang kemudian menyebabkan kulit kekurangan protein tertentu. Kedua orangtua tentu menjadi pembawa gen untuk mutasi, yang mana kemungkinan terjadinya adalah satu banding sejuta untuk timbulnya penyakit ini.

Orangtua juga umumnya tidak memiliki tanda-tanda atau gejala tertentu, tetapi masing-masing membawa salinan gen bermutasi dalam sel mereka.

Beberapa tanda harlequin ichthyosis pada bayi baru lahir, diantaranya adalah kulit tebal yang retak dan terbelah, fitur wajah terdistorsi, bagian kulit di sekitar mata dan mulut seperti tertarik, tangan dan kaki kecil tapi bengkak, pernapasan terganggu ketika kulit kering memenuhi bagian dada dan perut, bagian telinga menempel dengan kepala seakan menghilang, serta umumnya kadar natrium darah tinggi.

Bayi yang lahir dengan penyakit ini harus segera mendapatkan perawatan khusus di unit perawatan intensif neonatal. Pasalnya, mereka kurang mampu mempertahankan suhu tubuh normal dan lebih rentan kehilangan cairan hingga dehidrasi, yang dapat meningkatkan terjadinya infeksi dan mengancam kehidupannya pada minggu-minggu pertama.


Tumbuh dengan kelainan fisik

Banyak pakar kesehatan yang mengatakan, bahwa penyakit ini tak akan membuat penderitanya bertahan hidup dalam waktu lama. Tak sedikit yang bertahan hidup hanya dalam hitungan hari setelah dilahirkan. Ini karena kondisi kulit mereka sangat rentan infeksi.

Namun, tidak demikian dengan Mui Thomas yang masih bertahan hidup hingga sekarang. Saat ini usianya 22 tahun. Bahkan, ia adalah orang tertua keempat di dunia yang bertahan dengan penyakit ini.

Tumbuh dewasa dengan kelainan fisik tentu bukanlah hal mudah. Mui seringkali menghadapi hinaan dari orang-orang yang menganggapnya aneh, entah itu teman-teman di sekolah ataupun cyberbullying.

Ia pun akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah dan menyibukkan diri bekerja bersama orang-orang berkebutuhan khusus. Bahkan, di akhir pekan, Mui sibuk berlatih rugby di lapangan.

“Saya bercita-cita suatu saat nanti saya bisa menjadi wasit rugby internasional. Belum banyak wanita yang menjadi wasit rugby dan saya ingin menjadi salah satunya,” ujar Mui.

Meski memiliki tampilan fisik berbeda dengan orang pada umumnya, Mui tak lantas kehilangan kepercayaan diri dan putus harapan. Ia justru memiliki keyakinan untuk mengejar cita-citanya. Mui membuktikan bahwa kelainan fisik bukanlah halangan.

“Jangan biarkan apapun menghentikanmu. Jangan biarkan kekuranganmu menghentikanmu. Jangan biarkan tampilan fisik menghentikanmu,” kata Mui dengan yakin.

Bersama dengan orangtuanya, Mui juga mulai menjadi pembicara tentang pengalamannya dengan kelainan fisik dan cyberbullying di sekolah sekitar Hong Kong. Ayahnya juga menulis sebuah jurnal keluarga berjudul The Girl Behind The Face.

Dengan kondisi kulitnya, setiap beraktivitas Mui harus membawa tiga sampai empat tabung krim untuk dioleskan ke seluruh tubuh, agar kulitnya tidak kering. Sedangkan saat mandi, ia bisa menghabiskan waktu sekitar dua jam setiap kali mandi dan dilakukan setiap dua kali sehari.

 

Kompas Video Mui Thomas, si Calon Wasit Rugby
In patnership with
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com