Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyakit Jantung Koroner Tak Harus Berujung Kematian

Kompas.com - 18/10/2016, 17:00 WIB

Oleh Adhitya Ramadhan

Penyakit jantung dan stroke adalah penyakit nomor pertama penyebab kematian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dengan penanganan tepat, kematian akibat penyakit kardiovaskular bisa dihindari. Bahkan, masalah itu bisa dicegah dengan menghindari faktor risiko terkena penyakit tersebut.

Pada peringatan Hari Jantung Sedunia, 29 September 2016, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara Poonam Khetrapal Singh menyampaikan secara tertulis, mempertahankan kesehatan jantung agar terhindar dari penyakit kardiovaskular amat penting.

Ada beberapa kebiasaan utama yang bisa ditumbuhkan tiap orang, seperti menghindari konsumsi rokok dan alkohol serta makan buah dan sayur yang cukup setiap hari.
Mengurangi konsumsi garam hingga kurang dari satu sendok makan sehari pun berguna menekan tekanan darah sehingga mengurangi risiko serangan jantung dan stroke. Hal yang juga penting ialah berolahraga setidaknya 30 menit per hari, 5 kali seminggu.

Pada saat yang sama, pemerintah bisa mempromosikan kesehatan jantung dan menekan beban penyakit. Itu bisa dilakukan dengan cara, antara lain, membangun infrastruktur publik, seperti taman dan jalur pesepeda, mendorong kegiatan fisik, memberi edukasi gaya hidup sehat demi meningkatkan pengetahuan, dan kemampuan individu membuat keputusan untuk hidup sehat.

Salah satu penyakit kardiovaskular yang menyebabkan banyak kematian ialah penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah menyempitnya pembuluh darah arteri koroner akibat plak menumpuk di bagian dalam dinding pembuluh darah koroner, pembuluh darah yang berfungsi menyuplai oksigen, dan zat makanan ke otot jantung.

Karena menyempit, aliran darah pembawa oksigen dan zat makanan jadi terganggu. Itu bisa menyebabkan kematian mendadak, gangguan irama jantung, ataupun gagal jantung.

Gaya hidup tak sehat, seperti banyak mengonsumsi makanan berlemak, merokok, minum alkohol, diabetes melitus, kegemukan, kurang berolahraga, dan stres, bisa menyebabkan timbunan plak.

Faktor usia, jenis kelamin, dan keturunan jadi faktor risiko yang tak bisa dimodifikasi. Peluang PJK pada laki- laki lebih tinggi dibanding perempuan, tetapi risiko pada perempuan jadi tinggi saat telah menopause.

Serangan jantung terjadi ketika kebutuhan oksigen pada jantung meningkat. Misalnya, ketika aktivitas meningkat, sedangkan aliran darah yang masuk tersumbat plak. Saat terjadi serangan jantung, plak bisa lepas dan menimbulkan gumpalan darah (trombus) yang kemudian menyumbat aliran darah.

Menurut Kepala Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSCM Eka Ginanjar, ketika serangan jantung terjadi, biasanya muncul gejala khas, seperti nyeri dada seperti tertindih benda berat yang menjalar ke punggung, lengan kiri, leher, rahang, hingga geraham. Pasien juga biasanya akan lemas, muncul keringat dingin, pucat, dan sesak.

Sayangnya, karena kurangnya pengetahuan, gejala itu disalahartikan masyarakat sebagai masuk angin atau angin duduk.

Upaya yang biasanya dilakukan bukan segera berobat ke rumah sakit, melainkan malah menganggap biasa, memijat, atau mengeroki punggung mereka yang mengalami serangan jantung. Itu umumnya menyebabkan pasien serangan jantung terlambat dibawa ke RS sehingga nyawanya tak terselamatkan.

Padahal, dalam penanganan serangan jantung, ada periode emas, yakni dalam waktu 12 jam setelah terjadi serangan, pasien harus sudah mendapat tindakan medis. Bahkan, idealnya ada door to balloon atau waktu sejak pasien masuk instalasi gawat darurat hingga dipasang balon pada pembuluh darah tak lebih dari 90 menit.

Intervensi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com