Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?

Kompas.com - 28/04/2017, 19:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Dalam satu minggu ini santer gonjang ganjing kasak kusuk di arena advokasi pangan bayi dan anak internasional yang katanya kena imbas kebijakan politik Amerika.

Sang presiden terpilih di sana konon punya tombol khusus di meja kerjanya demi segelas soda, serta terang-terangan menyantap makanan cepat saji kebanggaan tahun 80-an yang telah terbukti membawa banyak korban dan kini merambah negara-negara berkembang.

Yang amat mengejutkan, oleh pembaca Indonesia berita semacam itu dianggap ‘cermin kesederhanaan’ Presiden negri adikuasa – mengingat murahnya makanan cepat saji – ketimbang dampaknya di kemudian hari.

Rendahnya kesadaran akan keamanan pangan masih ketinggalan sekian puluh tahun rupanya.

Saat di negara-negara maju orang sudah meributkan residu antibiotika dan vaksin pada daging yang akan dikonsumsi atau efek pangan transgenik terhadap risiko kanker dan kesehatan reproduksi, di sini kita masih bicara soal makanan yang enak dan mengenyangkan, asal tidak bikin diare.

Sekian kurun waktu lamanya manusia berlomba mencari uang, menunjukkan kebolehan intelegensia, kecanggihan teknologi dan ekonomi seakan itu semuanya rupa supremasi kesuksesan dan kemakmuran. Kesehatan selalu paling belakang.

Bahkan masih ada yang berkilah, sakit itu tak terelakkan – karenanya masa tua harus kaya, agar bisa berobat kemana pun.

Sakit tak masalah, karena teknologi kedokteran akan mereparasi semuanya, kalau perlu perabot tubuh bisa diganti baru dan kinclong lagi.

“Normalitas baru” alias the New Normality tentang pola makan, gaya hidup dan kebutuhan berobat muncul secara global.

Sekian puluh tahun orang Jawa sarapan dengan roti. Sekian puluh tahun kita dijejali cara hidup praktis. Sekian puluh tahun kita akhirnya terbiasa dengan paradigma berobat jika sakit.

Sakit diandaikan kerewelan tubuh yang harus ditumpas, ketimbang pernyataan protes tubuh karena didera, tanpa diberikan hak-haknya.

Ketika datang saatnya kita diminta merefleksikan diri tentang penyebab semua masalah sakit, tiba-tiba kita terhenyak.

Di momen yang sama pun bermunculan hasil-hasil penelitian kedokteran teranyar yang membuktikan bahwa kembali ke fitrah bukan cuma lebih murah tapi juga lebih masuk akal.

Sekali pun di luar sana berjejalan informasi tandingan tentang ampuhnya obat-obatan muktahir yang membuat kecanduan baru dan memperkaya industri farmasi.

Rasa bersalah mestinya bermunculan dimana-mana. Mulai dari pemilik tubuh yang mendzolimi dirinya sendiri, para promotor makanan minuman jadi-jadian, hingga para pemangku kebijakan yang meloloskan semua perijinan promosinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com