Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memecahkan Rekor Marathon Lewat Tradisi dan Teknologi

Kompas.com - 04/05/2017, 23:10 WIB
Wisnubrata

Penulis

Untuk memecahkan rekor marathon dengan waktu di bawah 2 jam, seorang pelari harus mengalahkan kecepatan pemegang rekor saat ini – 2:02:57 – hingga sekitar 3 persen. Berarti ia harus berlari 4 detik lebih cepat setiap kilometernya dibanding pemegang rekor tersebut. Bagi banyak orang, ini tantangan yang nyaris mustahil. Tapi Nike menganggapnya sebagai sesuatu yang layak dikejar.

Pelari yang bersedia menerima tantangan ini adalah Eliud Kipchoge, Lelisa Desisa dan Zersenay Tadese. Mereka akan berusaha memecahkan rekor itu pada hari Sabtu 6 Mei 2017 pukul 5.45 pagi waktu setempat, di sirkuit balap Monza, Italia.

Analisa dan pengujian berbulan-bulan yang dilakukan terhadap para pelari jarak jauh terbaik di dunia itu menunjukkan bahwa ketiganya secara fisik cocok melakukannya. Namun yang lebih menentukan dalam pemilihan, adalah fakta bahwa mereka secara alami memang lebih baik dibanding orang lain dalam hal berlari cepat untuk waktu yang lama.

Kebiasaan berlari yang merupakan tradisi sejak kecil serta pengalaman berlomba memberikan mereka keunggulan unik, sehingga pelatih dan ilmuwan yang tergabung dalam tim Breaking2 memilih mengoptimalkan kebiasaan mereka daripada menggantinya dengan bentuk latihan lain. Dengan cara ini, diharapkan mereka mampu memecahkan rekor yang belum pernah dimiliki seorang pun di dunia: menempuh marathon di bawah 2 jam!

“Sebagai atlet papan atas, mereka memiliki program latihan yang baik,” ujar Dr. Brad Wilkins, direktur Nike Explore Team Generation Research yang mendampingi persiapan para pelari. “Tugas kami kemudian adalah memberikan analisa dan saran untuk mengoptimalkan latihan itu.”

Eliud Kipchoge berlatih dua kali sehari dengan menu lari jarak jauh, lari cepat di jalur, dan latihan Fartlek yang dalam bahasa Swedia artinya permainan cepat. Sedangkan Lelisa Desisa fokus pada latihan ketahanan di mana ia banyak latihan lari jarak jauh. Belakangan ia juga menambahkan latihan kecepatan. Sebaliknya, Zersenay Tadese justru lebih banyak latihan kecepatan di awal agar terbiasa dengan irama lari cepat, baru kemudian menambah jaraknya.

Sebagai pemanasan, semua pelari hanya melakukan jogging pelan, kadang-kadang sangat pelan sehingga mereka terlihat seolah menyeret kakinya. Sementara Desisa dan timnya melakukan gerakan rutin seperti ritual sebelum lari selama sekitar 30 menit. “Gerakan itu seperti menari,” ujar Dr. Brett Kirby, peneliti di Nike Sport Research Lab.

Biasanya para pelari ini lari bersama-sama guna membangkitkan motivasi. Desisa memiliki tim terdiri dari enam hingga delapan orang yang memberinya dukungan saat diperlukan. Saat berlari jauh, Kipchoge akan ditemani banyak orang, kadang sampai 60 orang teman-temannya. Namun ketika melakukan latihan yang lebih spesifik, mereka melakukannya dalam kelompok kecil. Sementara Zersenay lebih sering lari sendirian.

Lari dan tidur

Salah satu hal penting dalam proses latihan ini adalah pemulihan, mengingat mereka lari lebih dari 150 kilometer per minggu. “Zersenay adalah tukang tidur. Saat tidak berlari, ia biasanya tidur,” ujar Kirby.

Sedangkan Desisa biasanya bersantai saat tidak latihan. Kipchoge begitu juga. “Selain tidur dan minum teh bersama teman-temannya, dia juga mengambil air dari sumur,” kata Kirby. Mereka juga mendapatkan pijatan hingga tiga kali seminggu, biasanya setelah latihan berat.

Tidak seperti kebanyakan pelari, mereka tidak berlatih angkat beban atau yoga. Mereka hanya berlari. “Untuk bisa berlari cepat, kamu harus berlari,” kata Wilkins.

Clayton Cotterell Eliud Kipchoge, Lelisa Desisa dan Zersenay Tadese, pelari yang akan mencoba memecahkan rekor marathon di bawah 2 jam
Pada tingkatan seperti mereka, para pelari sudah tahu makanan apa yang memberi mereka tenaga paling baik, meski Wilkins dan Kirby menyarankan agar mereka menyantap 50-75 persen karbohidrat dan 20-30 persen protein. Para ilmuwan juga memberi tuntunan soal nutrisi yang harus dikonsumsi setelah latihan. Mereka menekankan pentingnya menyantap protein dan karbohidrat segera setelah latihan berat.

Ketiga pelari melakukan latihan di kampungnya masing-masing yang berada di daerah tinggi. Kipchoge berlatih di Kenya, Desisa di Ethiopia dan Tadese di Eritrea (di mana dia tinggal) atau di Spanyol (tempat pelatihnya tinggal).

“Karena di ketinggian ini lapisan oksigen lebih tipis, maka jumlah sel darah merah akan naik untuk memungkinkan darah mengangkut lebih banyak oksigen ke otot,” kata Wilkins. “Makin banyak oksigen, makin kuat juga kerja otot.

Jumlah sel darah merah akan bertahan hingga dua minggu setelah mereka meninggalkan daerah tinggi. Diharapkan pada saat harus memecahkan rekor di Monza, banyaknya sel darah merah ini memberi pasokan ekstra ke otot pelari.

Untuk memantau kondisi dan latihan, Wilkins dan Kirby mengunjungi mereka beberapa kali. Pengukuran-pengukuran dilakukan, seperti V02 max, berapa banyak cairan yang hilang saat mereka berlari, bagaimana kemampuan otot mereka menyimpan tenaga dan lainnya. Selama berlatih, para pelari juga dilengkapi jam GPS dengan pencatat detak jantung. Data-data itu dikirimkan pada para ilmuwan untuk memperoleh gambaran perkembangan para pelari.

Dengan tradisi lari yang sudah mengakar ditambah latihan rutin dan pendekatan ilmiah, para pelari ini membutuhkan satu hal lagi untuk memecahkan rekor, yakni sepatu yang tepat. Nike telah mempersiapkan sepatu khusus yang dirancang dengan teknologi mutakhir bagi mereka, yakni Nike Zoom Vaporfly Elite.

Baca: Inikah Sepatu Marathon Tercepat di Dunia?

“Dengan gabungan hal-hal di atas, tradisi dan teknologi, para pelari berkesempatan mencapai rekor yang belum pernah terjadi,” ujar Wilkins. “Yang harus mereka lakukan sekarang adalah berlari sejauh 42 kilometer dengan kecepatan 21,08 kilometer per jam.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com