Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/05/2017, 11:15 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Bertahun-tahun mencoba berbagai upaya untuk mendapatkan keturunan namun belum berhasil merupakan ujian berat bagi pasangan suami istri.

Bukan cuma bagi istri, para suami pun merasakan tekanan yang sama saat menghadapi kenyataan sulitnya menimang si buah hati.

Sudah tiga tahun terakhir Thomas (33) dan istrinya Sara mencoba terapi kesuburan untuk hamil. Mereka sudah menghadapi dua kali keguguran dan berbagai terapi yang semuanya berakhir dengan kegagalan. Kini pasangan ini mencoba program bayi tabung.

Selain menyisihkan uang yang tak sedikit, pasangan ini juga seminggu sekali harus menyetir mobil selama 3 jam untuk bertemu dokter di klinik kesuburan di St.Louis, Amerika.

Bukan cuma menghadapi kekecewaannya sendiri, Thomas juga sering merasa kebingungan menghadapi istrinya yang bersedih.

"Ia merasa saya tidak bisa mengerti perasaannya. Saya sudah berhati-hati agar tak membuatnya marah, tapi saya tak tahu cara yang tepat untuk menyenangkan hatinya," katanya.

Gangguan kesuburan merupakan tantangan yang harus dihadapi pasangan suami istri. Namun, selama ini fokus pada masalah ini adalah pihak perempuan. Wajar saja karena perempuan menghadapi tantangan fisik dan emosional saat menjalani terapi hormonal, operasi, dan tindakan lain yang diperlukan.

Meski demikian, banyak orang lupa bahwa pria juga mengalami "roller coaster" emosional. Mereka juga bisa merasa sedih dan terpuruk ketika impiannya memeluk buah hati belum juga terwujud.

"Pria sering dilupakan atau dikesampingkan dalam proses terapi kesuburan. Dokter sering hanya mengajak istri untuk menyampaikan hasil laboratorium atau mendiskusikan terapi yang akan diambil," kata Sharon Covington, psikolog.

Padahal, secara emosional kekecewaan yang dirasakan pria tak jauh berbeda dengan pihak wanita.

Sebuah penelitian tahun 2014 di Denmark mengungkapkan, dari 274 pria yang didiagnosis tidak subur, 32 persennya mengalami depresi dan lebih dari 60 persen menderita gangguan kecemasan.

Penelitian lain yang mewawancari 15 pria tentang kesuburan menyebutkan, para pria ini mengalami kondisi "dituntut secara mental, fisik, dan sosial."

Pria juga merasa kaget dengan kenyataan yang disampaikan dokter, merasa malu, dan juga merasa "kurang laki-laki" karena tidak bisa membuahi pasangannya.

Sayangnya, kebanyakan pria tidak mau terbuka mengakui perasaannya. Stigma dan juga tabu seputar kesuburan pria, membuat pria lebih suka mengubur perasaannya dan membuatnya makin terisolasi.

Covington menyarankan agar pria yang sedang menjalani terapi kesuburan untuk mencari dukungan emosional, bisa dengan bercerita dengan teman yang sudah pernah menjalani terapi yang sama, atau dengan pasangan.

Peran tenaga kesehatan yang menangani terapi kesuburan juga penting, misalnya dengan memperbesar porsi keterlibatan suami dalam program kehamilan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com