Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Setiap Titik adalah Titik Balik

Kompas.com - 26/05/2017, 10:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Banyak orang hidup terperangkap pada garis kehidupan yang ia buat sendiri. Ia menjalani hidupnya kini sebagai konsekuensi dari apa yang terjadi pada hidupnya di masa lalu. Hidup dia di masa depan hanyalah lanjutan garis lurus yang dihasilkan oleh suatu kejadian di masa lalu. Ia tidak bisa keluar dari arah yang sudah ditentukan oleh garis itu.

Ada orang yang hidup sambil terus meratapi kejadian atau kemalangan yang ia alami di masa lalu, dan akibat buruknya masih belangsung hingga sekarang. Ada yang menyesali keputusan atau pilihan yang ia buat di masa lalu, yang akibatnya harus ia tanggung sampai sekarang. Ada pula orang yang menyesali sesuatu yang seharusnya ia lakukan di masa lalu, tapi ia tidak lakukan. Ketika ia sadar bahwa itu harus dia lakukan, sudah terlambat.

Orang-orang ini hidup dalam dunia "seandainya". Seandainya dulu tidak terjadi anu, tentu hidupku tidak begini. Seandainya aku pilih anu, tentu hidupku tidak semalang ini. Seandainya aku dulu memilih anu, tentu hidupku akan lebih baik.

Orang-orang ini percaya bahwa hidup ditentukan oleh momen-momen besar yang datang secara acak, dan momen-momen itu menentukan hidup seseorang. Mereka percaya bahwa hidup hanya terdiri dari beberapa titik balik. Kalau ia bertemu titik balik positif dalam garis hidupnya, ia akan mendapat hidup yang baik. Bila tidak, ia akan mendapat hidup yang buruk.

Hidup bukanlah garis-garis lurus yang panjang. Bukan seperti melepas anak panah dari busur, sekali lepas maka arahnya sudah ditentukan dan tidak dapat diubah lagi. Tidak. Hidup adalah kesempatan untuk membuat perubahan pada setiap detik yang kita lalui. Garis kehidupan kita gambar pada setiap detik itu. Kita menentukan hidup kita di masa depan dengan setiap tindakan yang kita ambil saat ini, bukan oleh hanya satu momen di masa lalu.

Artinya apa yang akan terjadi di masa depan, kita atur sendiri. Apakah keputusan yang kita ambil, atau pilihan yang kita buat saat ini akan membuat hidup kita lebih baik atau lebih buruk, tidak hanya ditentukan pada saat ini saja, tapi pada setiap tindakan yang kita lakukan pada setiap detik di masa depan.

Contoh menariknya adalah seorang pebalap bernama M. Fadli, yang beberapa waktu lalu diwawancara dalam acara Kick Andy. Tadinya ia seorang pebalap sepeda motor. Kecelakaan membuat kakinya diamputasi. Garis hidupnya sebagai pebalap putus sampai di situ.

Kita sering menemukan orang yang mengalami kemalangan seperti Fadli itu, lalu berhenti dengan hidupnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Maka ia tak menjadi apa-apa setelah itu. Tapi tidak demikian halnya dengan Fadli. Ia memilih untuk menjalani hidup baru sebagai pebalap sepeda, dengan memakai kaki buatan.

Ada orang yang terhenti karirnya, karena disingkirkan oleh orang lain. Atau, karena kesalahan yang ia buat. Ada yang hidupnya berhenti di situ. Tapi ada pula yang menjadikannya titik balik untuk memulai hidup baru.

Ketika lulus kuliah tahun 1994 saya diterima bekerja di perusahaan minyak, dengan gaji cukup tinggi. Tapi karena tidak disiplin, saya mengalami kecelakaan. Saya kemudian dipecat. Beberapa bulan sejak itu saya menjadi seorang peratap. Seandainya saya lebih berdisiplin, tentu saya masih bekerja dengan gaji tinggi.

Bagusnya, itu hanya sebentar saja. Saya lalu bersemangat menjalani karir baru saya sebagai dosen. Kemudian saya mendapat beasiswa untuk kuliah ke Jepang.

Mendengar kisah saya itu, ada orang berkomentar bahwa kecelakaan itu berkah. Kalau tidak mengalami kecelakaan, maka saya kini akan jadi engineer di perusahaan minyak, bukan doktor lulusan Jepang. Saya bilang, bukan begitu.

Kecelakaan adalah kecelakaan. Ia tak bisa menjadi berkah. Berkah atau tidak, ditentukan oleh sikap saya setelah kecelakaan itu. Kalau tidak kecelakaan, mungkin saya akan jadi engineer terus. Atau, bisa saja saya berhenti pada suatu saat, kemudian beralih menekuni sesuatu yang lain. Demikian pula, bisa juga saya menjadi orang yang frustrasi pasca-kecelakaan, lalu tak menjadi apa-apa.

Berkah atau tidaknya suatu kejadian tidak ditentukan oleh kejadian itu, tapi ditentukan oleh bagaimana kita menyikapinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com