Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ika Krismantari

Ibu dari Senyum Pagi dan Nyala Cakrawala, penulis yang tinggal di kampung pinggiran Jakarta. Redaktur Pelaksana Ingat65.

43 Hari Tanpa Media Sosial: Sebuah Percobaan

Kompas.com - 12/06/2017, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLusia Kus Anna

Awalnya sih, saya tidak merencanakan apa-apa.  Semuanya terjadi begitu saja. Suatu hari telepon genggam saya rusak gara-gara dibanting anak kedua saya. Setelah mendapatkan yang baru, saya memutuskan untuk tidak mengunduh aplikasi media sosial di HP terbaru. Dan akhirnya, tepat tanggal 1 Mei, saya resmi tidak mempunyai akses ke akun media sosial saya dan memulai eksperimen kecil-kecilan tentang hidup tanpa media sosial.

Sebenarnya  percobaan ini adalah tindak lanjut dari keputusan saya sebelumnya untuk menghentikan menggunakan Facebook di ponsel. Sejak awal tahun ini, saya membatasi akses ke akun Facebook saya hanya di laptop dan komputer.

Setelah itu, saya merasa hidup saya baik-baik saja, bahkan menjadi lebih produktif karena waktu yang terbuang untuk melihat Facebook bisa saya gunakan untuk hal yang lain. Dari hasil yang positif ini, saya mencoba menantang diri saya ini untuk melakukannya pada akun media sosial yang lain: Twitter, Path dan Instagram.

Saya melakukan eksperimen sosial ini karena didorong oleh kepenatan saya hidup di dalam putaran media sosial. Hari-hari saya didominasi dengan ritual membuka akun media sosial yang satu ke akun media sosial yang lain. Ritual ini dimulai sejak saya membuka mata sampai siap berangkat tidur.

Kebiasaan ini pun merubah menjadi sesuatu yang instingtif. Tanpa sadar, ketika membuka telpon genggam, hal yang pertama saya lakukan adalah mengecek akun-akun saya untuk melihat perkembangan terkini. Bayangkan, betapa banyak waktu yang terbuang jika kita habiskan 5 menit saja untuk setiap akun media sosial yang kita miliki?

Alasan kedua, saya ingin men-detox saya dari energi negatif penggunaan media sosial. Saya tidak menyangkal bahwa media sosial juga memiliki banyak manfaat mulai dari memberi informasi sampai menginspirasi, tapi saya pernah merasa sedih, resah dan tidak berguna setelah melihat akun orang-orang yang memaparkan kehidupan mereka yang lebih sukses dan bahagia.

Parahnya, saya tidak kenal mereka. Mulai dari temannya teman yang nampak bahagia dengan karier dan keluarga mereka sampai artis-artis yang memamerkan hidup sempurna mereka. Mungkin ini yang namanya Facebook Envy (Kecemburuan gara-gara Facebook). Sebuah penelitian di Denmark menunjukkan 4 dari 10 orang  iri terhadap kesuksesan yang orang lain tunjukan di Facebook.

Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa orang akan cenderung lebih bahagia ketika tidak memakai Facebook selama seminggu.

Belum lagi teror online shopping yang begitu kental di sosial media. Untungnya saya bukan orang yang gampang diteror. Tapi, ada teman kantor yang memutuskan untuk menutup akun Instagramnya untuk menghindar dari setan online shopping.

IST Ilustrasi.
Didasari oleh alasan-alasan di atas, saya pun melakukan puasa media sosial. Tanpa disengaja, waktunya pun pas dengan bulan Ramadan. Jadi, ketika umat Muslim menahan lapar dan dahaga, saya juga menahan diri untuk tidak mengintip akun media sosial saya.

Di minggu-minggu pertama semua berjalan mudah. Toh,  saya praktis benar-benar tidak punya HP karena rusak. Namun setelahnya, semua menjadi sedikit berat. Saya pun sesekali membuka Facebook atau Twitter di laptop. Meski hanya melihat-lihat saja tanpa posting atau memberi komentar, tapi tetap saja yah…

Lalu tiba saatnya saya pergi liburan dua minggu bersama keluarga saya ke Jepang dan saya tidak membawa laptop. Jadi selama dua minggu itu, saya benar-benar tidak membuka akun media sosial saya. Selama itu, saya benar-benar merasa liburan saya optimal. Saya menikmati setiap momennya bersama keluarga saya beranjak dari satu kota ke kota yang lain tanpa ada tuntutan harus update ini-itu di media sosial dan kemudian membalas likes atau komentar dari teman.

Kembali ke realita, puasa saya di media sosial kembali menjadi berat. Tuntutan pekerjaan dan pergaulan menjadikan saya alien di tengah-tengah masyarakat yang fasih menggunakan media sosial sebagai pembuka pembicaraan mereka. Terkadang, saya pun tak kuasa meminta maaf atas pilihan yang membuat saya jadi tidak tahu apa-apa yang mereka bicarakan.

Media sosial bukan lagi sebuah pilihan tapi keharusan yang menyisakan rasa bersalah kepada orang-orang yang tidak memilihnya. Saya pun tak kuasa akhirnya melihat timeline Facebook suami saya untuk sekadar melihat kabar terkini teman-teman kami. Dan seperti sudah saya duga, saya pun akhirnya menjadi target      teman-teman dekat saya, sebuah konsekuensi yang saya sudah siap hadapi.

Entah sampai kapan eksperimen ini akan berlangsung. Saya belum berencana untuk menghentikannya. Mungkin suatu saat nanti. Yang jelas saya tidak ingin seperti banyak artis yang menjilat ludah mereka sendiri karena tak lama setelah mereka mengumumkan mereka berhenti dari media sosial, mereka pun kembali lagi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com