KOMPAS.com – "Kapan menikah?" pertanyaan tersebut bagai momok yang menghantui pria dan wanita—notabene sudah bekerja dan berusia cukup matang, tetapi masih membujang—saat ada pertemuan keluarga besar. Misalnya, pada Hari Raya Idul Fitri yang sebentar lagi akan tiba.
Pada momen tersebut, biasanya dijadikan ajang bagi umat muslim di Indonesia untuk bersilahturahmi ke kerabat dan sanak saudara. Nah, pada saat itulah, pertanyaan soal kabar, dan kapan menikah pun jadi hal yang tak terlewat.
Psikolog klinis di Ad Familia Indonesia Mona Sugianto mengatakan, pertanyaan kapan menikah merupakan hal biasa pada kebudayaan timur. Apalagi bagi masyarakat Indonesia, menikah adalah status yang penting.
Masalahnya, lanjut Mona, masing-masing orang punya jalan hidup berbeda. Ada yang belum mau menikah, dan ada juga yang ingin tetapi belum mendapatkan pasangan.
“Pertanyaan kapan menikah itu adalah pertanyaan biasa, hanya saja ada orang yang merasa sensitif karena merasa terancam,“ kata Mona saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/6/2017).
Ketika orang merasa terancam, ujar Mona, yang muncul adalah mekanisme bertahan. Dia ingin melindungi diri supaya harga diri sebagai manusia tidak terusik oleh pertanyaan itu.
Tiga tipe orang merespons
Mona membagi tiga tipe kepribadian orang dalam merespons pertanyaan kapan menikah. Pertama, adalah mereka yang menjawab dengan ringan atau easy going.
Kata Mona, orang berkepribadian seperti ini biasanya tidak akan ambil pusing dengan pertanyaan tersebut. Menurut orang tipe ini, menikah atau tidak menikah tidak akan mempengaruhi dirinya.
Kedua, adalah tipe penghindar. Mona mengidentifikasi orang-orang seperti ini sebisa mungkin akan menghindar dari pertanyaan tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.