Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan

Kompas.com - 31/07/2017, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Untuk judul tulisan kali ini, saya berhutang pada salah seorang jurnalis kawakan yang sangat fasih mengulas masalah kesehatan.

Dimulai dari perbincangan kedua belah pihak, yang mengeluhkan betapa sulitnya mencari narasumber yang sungguh-sungguh berpijak pada kebenaran ilmu dan kejujuran fakta ketimbang kepentingan.

Di tengah kisruhnya informasi yang ‘mengajari orang sehat dan bebas penyakit’ mulai dari yang jelas-jelas hoax hingga yang begitu meyakinkan bahasanya, tapi jika ditelaah oleh yang paham – nampak bau “pseudo science” yang amat menyengat.

Artinya, penjelasan akan suatu isu kesehatan yang ditulis dengan bahasa begitu rumit hingga terkesan “ilmiah banget” – padahal sama sekali tidak ada landasan berpikir rasional apalagi mempunyai bukti kuat.

Beberapa hari yang lalu, saat saya seperti biasa meluangkan waktu untuk menelusuri jurnal kedokteran terbaru, ada artikel dari British Medical Journal yang membuat jantung ingin berhenti sejenak dan menangis.

Di Inggris, dokter mulai mencari jalan yang terbaik bagi pasien diabetes untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sekaligus memangkas biaya kesehatan.

Begitu banyak penelitian ilmiah dengan level dan kualitas tinggi setaraf meta-analisis (bukan studi kasus belaka) digunakan sebagai dasar perbaikan pola makan. Pola makan yang berbasis sayur dan buah, tanpa karbohidrat berpati, diimbangi protein yang diolah dengan benar diajukan hingga ke parlemen untuk penghematan negara maupun individu.

Parlemen menyambut dengan gembira dan pintu kian terbuka lebar bagi para penderita diabetes untuk memiliki hidup lebih baik sekaligus meminimalisir risiko komplikasi penyakitnya. 

Di Indonesia? Saya mendapat keluhan sejawat yang justru "di-bully” oleh para seniornya yang punya gelar mentereng.

Salah satunya mengklaim dengan sombong, bahwa tidak mungkin penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi dan diabetes ditangani tanpa obat seumur hidup. Bahkan dengan congkak mengatakan, sumbangan pola makan tidak bermakna.

Bukan hanya hati saya sakit, tapi otak ini langsung rasanya mendidih meradang. Sebab faktanya, sudah ada penelitian disertasi yang juga diuji oleh ahli penyakit dalam, yang jelas-jelas menunjukkan signifikansi mencolok manfaat sayur dan buah yang diasup dengan benar dalam pola makan seimbang.

Dan penelitian itu dilaksanakan di Indonesia. Di negara maju, penelitian serupa sudah melimpah ruah.

Menginjak kaki para dokter muda, akademisi junior dan calon peneliti yang secara jujur bekerja demi kebenaran dan kesejahteraan rakyat bukanlah hal yang elok lagi. Rakyat pun tidak bodoh.

Belakangan ini sudah banyak sindiran nyinyir tentang ‘para ahli’ yang pendapatnya sudah tidak lagi bisa dijadikan pegangan, karena bias dengan kepentingan pribadi yang telah menjadi sumber pendapatan – hasil kerjasamanya dengan industri.

Mulai dari industri farmasi hingga teknologi pangan. Semua aksioma diplintir sedemikian rupa, sehingga tubuh tidak diberi ruang, apalagi kesempatan untuk memerbaiki diri. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com