Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/09/2017, 18:00 WIB
Kahfi Dirga Cahya,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Sumber The Sun

KOMPAS.com - Bukan hanya ibu baru, para pria yang baru menjadi seorang ayah juga perlu memperhatikan tanda-tanda depresi pasca kelahiran atau sering disebut baby-blues.

Tanda-tanda depresi pascamelahirkan di antaranya sulit tidur, susah berkonsentrasi, perasaan sedih yang menetap, hingga kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari.

Pada pria, mereka berisiko lebih tinggi jika kadar testosteron turun dalam sembilan bulan setelah bayi mereka lahir, menurut sebuah studi terbaru. Tapi, para ilmuwan terkejut menemukan tingkat testosteron rendah ayah memiliki efek positif pada pasangannya.

Wanita yang baru menjadi ibu cenderung tidak mengalami depresi pasca melahirkan—umumnya sembilan sampai 15 bulan setelah melahirkan, jika kadar testosteron pasangan mereka turun.

Tingkat testosteron tinggi memiliki efek sebaliknya. Ayah yang tingkat hormonnya tinggi menghadapi resiko depresi dan agresi yang lebih tinggi terhadap pasangan mereka.

Dr Darby Saxbe, penulis utama, dari University of Southern California mengatakan bahwa penting untuk mengetahui bagaimana cara mendukung para ayah mengatasi depresi pasca melahirkan.

"Kita cenderung menganggap depresi pasca melahirkan terjadi pada ibu saja. Ini bukan. Ini adalah kondisi nyata yang mungkin terkait dengan hormon dan biologis," kata Saxbe.

Para peneliti masih mencari tahu apa yang membuat secara biologis hal tersebut terjadi pada ayah. "Kami tahu bahwa ayah banyak memberi kontribusi dalam membesarkan anak, dan secara keseluruhan, anak-anak lebih baik jika mereka dibesarkan di rumah tangga dengan ayah yang berada di samping mereka,” katanya.

Penelitian itu ia lakukan dengan mengamati 149 pasangan, di mana usia ibu antara 18 sampai 40 tahun. Semua baru saja melahirkan anak mereka yang pertama, kedua atau ketiga. Peneliti mengunjungi pasangan tiga kali dalam dua tahun pertama setelah melahirkan—pada usia dua, sembilan dan 15 bulan setelah melahirkan.

Pada kunjungan di bulan ke-9, ayah diberikan peralatan pengambil sampel air liur, dan mengambil sampel tiga kali sehari, untuk memantau kadar testosteron mereka. Pasangan yang menjadi responden juga menjawab pertanyaan tentang gejala depresi dari the Edinburgh Postnatal Depression measure.

Mereka juga berbagi perasaan mereka pada kepuasan hubungan, tekanan menjadi orangtua dan masalah dengan agresi di antara pasangan.

Temuan menunjukkan testosteron lebih rendah dikaitkan dengan lebih banyak gejala depresi pasca melahirkan pada pria, namun lebih sedikit pada ibu. Wanita yang pasangannya memiliki tingkat hormon seks pria rendah lebih bahagia dalam hubungan mereka, yang membantu mengurangi resiko depresi mereka.

“Mungkin ayah dengan testosteron rendah menghabiskan lebih banyak waktu merawat bayi atau mereka memiliki profil hormon yang lebih disinkronkan dengan ibu," katanya.

Walau begitu, menurut Saxbe, pemberian suplemen testosteron bukan jawaban, karena justru memperburuk situasi. Penurunan hormon tersebut, menurut dia merupakan adaptasi normal dari peran baru sebagai orangtua.

Sejauh ini, penelitian menyebutkan bahwa cukup tidur, pola makan yang sehat, dan kebugaran fisik bisa membantu mengurangi tanda-tanda depresi pascamelahirkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber The Sun
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com