Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/09/2017, 20:47 WIB
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum

Penulis

KOMPAS.com - Dunia kesehatan kembali diramaikan oleh diet fenomenal yang bukan lagi viral, melainkan punya gaung cukup bergema karena gencarnya hujan ‘bukti ilmiah’.

Seperti biasa, hasil instan tanpa kerja keras yang berarti selalu menarik hati. Apalagi corongnya dipegang perempuan, yang begitu giras dengan semangat berbagi.

Bukan hanya awam, profesional kesehatan yang tadinya hanya mengintip malu-malu kucing, sekarang ikut gencar berkoar-koar menyambar jurnal sana-sini yang dianggap mendukung.

Cukup ngeri sebetulnya, jika dilacak dari mana ide bagaimana manusia bermanuver mengambil energi bukan dari sumber sesungguhnya, tapi justru dari sumber yang tadinya tidak dimaksudkan untuk diolah jadi tenaga.

Betul, timbunan lemak adalah cadangan energi yang tak terpakai – tidak salah juga jika dikatakan justru lemak itu harus dikikis.

Nanti dulu, bukankah kita bicara tentang lemak tubuh? Perkara jadi beda, jika manusia beroperasi sehari-hari menggunakan lemak yang diasup!

Memelintir pelajaran biokimia dan fisiologi untuk pembenaran suatu pendapat baru bagi saya adalah dosa yang tak termaafkan.

Dua mata kuliah dasar itu tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi ahli nutrisi apalagi dokter yang sudah malang melintang berhadapan dengan tubuh acakadul akibat salah rawat.

Amat mengerikan membaca semua edaran media sosial dan ‘jualan’ diet gaya baru yang bahkan berani-beraninya menyitir bagaimana kanker justru dibuat kelaparan, karena tidak mampu mengakses lemak sebagai ‘makanannya’.

Tak sedikit dokter dan ahli nutrisi yang sudah bersusah payah menyelesaikan pendidikannya termakan oleh simplifikasi sains yang begitu nista.

Fakta bahwa tidak dalam sebulan tubuh menggemuk, timbangan melambung, tentu sangat tidak bijak pula membuat tubuh mengurus cepat, apalagi dengan mengutak-atik norma fisiologi dan biokimia.

[Baca juga: Negeri Pusing Jadi Bancakan Orang Asing]

Yang patut dicermati, di tengah hujan deras informasi dari ‘penelitian negri seberang’, publik kita mentah-mentah langsung mengadopsi.

Sementara publik tanah seberang cenderung masih mengamat-amati. Seakan mereka sedang observasi, lontaran bola panas di tengah komunitas yang giras itu seperti apa.

Siapa yang bodoh, siapa yang pintar, tentu bisa dijawab sendiri. Tanpa diminta, kelompok pendek pikir sudah menyerahkan diri ramai-ramai menjadi kelinci uji coba.

Sementara di tanah seberang California sana, penelitian masih berjalan pada level tikus: eksperimen hewan, yang menempati tahapan paling rendah dari seluruh tingkatan piramida studi terkait kesehatan manusia. Dan tentunya, masih jauh dari klaim kesehatan manusia.

Kita belum sedikit pun melihat perbaikan kendali Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti darah tinggi, diabetes, stroke, kanker dan sederet masalah degeneratif – belum lagi ditambah bayi-bayi yang lahir dengan masalah tumbuh kembang.

Jaminan Kesehatan Nasional sudah tidak mampu menanggulangi beratnya beban penyakit masyarakat yang sebentar lagi akan meledak dengan bertambahnya masalah akibat gaya hidup dan pola-pola diet yang tidak ada satu orang pun menyatakan diri bertanggung jawab.

 

Izinkanlah saya sedikit berpikir ke depan dengan semua kemungkinan terburuk. “Frekwensi gelombang radio sebelah” begitu gencarnya mengisi gendang telinga kita, mulai dari gaya diet usia dewasa hingga gaya memberi makan anak yang dibebaskan ‘sesuai naluri dan pilihan’ si bayi (padahal bayi belum mampu membuat pilihan).

Lalu hujan impor pangan sana sini, hingga banyak orang anehnya memilih ngemil almond ketimbang kacang bogor kukus.

Kemudian nyanyian ‘back to nature’ kebablasan yang membuat keluarga muda bimbang antara memilih vaksinasi atau (sekali lagi) bersandar pada ‘kekebalan diri’.

Di tingkah musik sumbang ‘beranak-pinaklah, tiap anak bawa rezeki dan takdir’ – sehingga Keluarga Berencana dianggap hanya siasat pemerintah, seakan-akan orang miskin tidak berhak punya anak banyak.

[Baca juga: Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Atas nama hak asasi berpendapat dan kebebasan berujar, saya rasa akan menjadi amat sulit bagi bangsa ini untuk maju.

Khususnya jika yang mengeluarkan pendapat dan yang mendengar ujaran belum sampai pada tingkat tertentu – dipandang dari sisi wawasan, kebijakan berpikir dan kedewasaan mengambil kesimpulan.

Memuntahkan bulat-bulat dan menelan mentah-mentah itulah yang kelihatannya justru masih terjadi.

Hukum rimba-lah yang berlaku: Siapa yang kuat, dialah yang menang. Kuat suaranya (belum tentu benar), kuat dananya (untuk menyebar pengaruh), kuat koneksinya (tak gentar membela yang bayar).

Jika di Rohingya sana terjadi pengusiran etnis dan penghapusan kelompok secara kasar kasat mata, modus atas nama ‘ethnic cleansing’ bisa saja terjadi dengan cara yang jauh lebih halus bahkan tanpa penolakan.

Jujur saya amat khawatir dengan begitu masifnya gaya hidup asing merangsek komunitas-komunitas Indonesia.

Menggantikan kearifan merawat keluarga dan merawat diri yang sudah terbukti sejak berabad lampau menjadi kepraktisan atas nama kekinian.

Mengubah tatanan agraris menjadi industrialis hingga bahan pangan pun akhirnya impor. Mengubah sopan santun menjadi kebrutalan emosi, yang salah justru jadi lebih galak ketimbang yang menuturkan kebenaran.

[Baca juga: Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani]

Alangkah sedihnya jika ke-Indonesia-an hanya muncul di saat-saat seremonial saja. Basa-basi tradisi dan pameran baju daerah di atas panggung.

Sementara budaya menyuapi anak makan, mendulang bayi, digantikan Baby Led-Weaning. Sementara sarapan singkong rebus dan pecel madiun digantikan ekstrak minyak zaitun palsu dan segepok australian rib eye steak.

Kebiasaan menimbang bayi di posyandu diganti fenomena orangtua mencak-mencak di Instalasi Gawat Darurat saat anak sudah kritis dan gizi kurang.

Jadi, jangan khawatir omongan netizen soal tampil tidak fotogenik. Kembalilah ke fitrah, tetap konsumsi sayur dan buah produk Indonesia, bukan cari superfood Amerika.

Tetaplah aktif bermain bola dan kasti seminggu sekali, atau jalan pagi sesudah sarapan ubi dengan pepes teri. Fotogenik itu karena kita wajar, tampil asli menarik, bukan karena ketogenik.

[Baca juga: Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?]

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com